Alasan Sri Mulyani soal Dana Pendidikan Tak Pernah Capai 20 Persen

CNN Indonesia
Selasa, 22 Jul 2025 14:23 WIB
Sri Mulyani Indrawati mengungkap alasan alokasi anggaran pendidikan dalam APBN tidak pernah mencapai 20 persen sebagaimana amanat UUD 1945 dan UU.
Sri Mulyani Indrawati mengungkap alasan alokasi anggaran pendidikan dalam APBN tidak pernah mencapai 20 persen sebagaimana amanat UUD 1945 dan UU. (Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Jakarta, CNN Indonesia --

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan alasan alokasi anggaran pendidikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak pernah mencapai 20 persen.

Padahal, alokasi 20 persen anggaran dari APBN itu merupakan amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, dan dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 

Ia merespons kritik Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi PDIP Dolfie OFP yang menyoroti rendahnya realisasi anggaran pendidikan dari tahun ke tahun.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sekarang kita lihat berdasarkan tadi definisi yang disampaikan Pak Dolfie, yaitu 20 persen terhadap belanja. Mari kita semuanya supaya tidak menimbulkan juga salah persepsi ya. Coba kita perhatikan belanja negara. Belanja negara itu terdiri dari belanja K/L, belanja BUN (Bendahara Umum Negara), dan TKDD (Transfer ke Daerah dan Dana Desa)," ujar Sri Mulyani dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI, Selasa (22/7).

Sang Bendahara Negara menjelaskan porsi anggaran pendidikan terhadap total belanja negara sangat bergantung pada pergerakan komponen belanja lainnya. Misalnya, ketika belanja subsidi atau kompensasi meningkat drastis, porsi persentase belanja pendidikan bisa terlihat menurun, meskipun nominalnya tetap atau bahkan meningkat.

"Kalau belanja barang, perjalanan dinas, segala macam plus program-program. Itu pun penyerapannya bisa lebih rendah, bisa lebih tinggi. Waktu terjadi El Nino kita menambah bansos, itu menjadi belanja barangnya naik. Sehingga 20 persennya yang awal menjadi seolah-olah lebih rendah," ujar Sri Mulyani.

Ia menegaskan penempatan sebagian anggaran pendidikan di bawah pos pembiayaan dilakukan sebagai strategi pengelolaan fiskal yang hati-hati. Mekanisme ini dibentuk agar anggaran tidak dihamburkan di akhir tahun hanya demi mengejar target nominal.

"Waktu itu kalau sudah mendekati September kita belum mencapai 20 persen, maka diberikan lah K/L itu belanja tambahan di bulan Oktober. Tiga bulan Pak, Rp80 triliun mau dibelanjakan habis jadi apa? That's a problem juga," ucap wanita yang akrab disapa Ani itu.

Ani menambahkan pembuatan cadangan melalui skema dana abadi pendidikan justru bertujuan agar anggaran pendidikan tidak digunakan secara serampangan dan bisa memberikan manfaat jangka panjang.

Namun, ia mengakui ke depan tetap perlu ada perbaikan agar mekanisme belanja lebih efisien, ekonomis, dan sesuai prinsip tata kelola keuangan yang baik.

"Kami juga berpikir terus bagaimana satu sisi mengikuti UUD, di sisi lain Pak Dolfie minta kualitas belanjanya harus bagus, tata kelola bagus dan segala macam. Ini akan kami terus komunikasikan dengan K/L dan yang lain supaya kita semuanya dalam halaman yang sama," ujarnya.

Dalam kesempatan itu, anggota DPR Dolfie menampilkan data perbandingan realisasi anggaran pendidikan dalam APBN dari tahun ke tahun yang menunjukkan stagnasi.

Ia menyoroti meskipun Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan pada 2007 agar alokasi anggaran pendidikan mencapai minimal 20 persen dari APBN, realisasinya justru tidak pernah menyentuh angka tersebut.

Pada 2007 dan 2008, porsi anggaran pendidikan tercatat masing-masing sebesar 18 persen dan 15,6 persen. Tren ini berlanjut hingga masa pemerintahan Presiden ke-7 Joko Widodo, di mana alokasi untuk pendidikan pada 2022 hanya mencapai 15,46 persen, 16,4 persen pada 2023, dan 17 persen pada 2024.

Menurutnya, hal ini menunjukkan postur anggaran memang disusun agar tidak memenuhi ketentuan 20 persen secara riil. Ia mempertanyakan alasan alokasi dana pendidikan dimasukkan dalam pos pembiayaan, bukan belanja.

"Kalau kita cermati putusan MK itu di belanja. Karena apa? Komponen gaji pendidikan itu dimasukkan pada tahun 2007. Komponen gaji itu kan belanja. Oleh karena itu ke depan, 20 persen ini harapan kita semua adalah memasukkan semuanya di belanja. Tidak dari cadangan yang sengaja untuk tidak direalisasikan," ujar Dolfie.

Dolfie juga menghitung adanya selisih 3 persen dari target anggaran pendidikan yang tidak terealisasi, atau setara dengan Rp80 triliun.

Menurutnya, jumlah tersebut bisa digunakan untuk program-program penting, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG). Namun karena ditaruh dalam pembiayaan, bukan belanja, dana tersebut cenderung tidak digunakan dan justru memengaruhi jumlah utang negara.

"Kalau yang di cadangan pembiayaan, cadangan pendidikan yang ditaruh di pembiayaan dipindahkan di belanja, tidak mungkin tidak direalisasikan. Jadi seolah-olah defisit itu hanya dikontribusi atau paling besar dikontribusikan oleh pendidikan. Padahal defisit kontribusinya bukan dari sektor pendidikan saja," ungkapnya.

Dolfie menutup dengan menegaskan kegagalan memenuhi alokasi 20 persen anggaran pendidikan terjadi karena sejak awal tidak dirancang untuk direalisasikan. Ia menyebut jika memang ada komitmen kuat, semestinya perencanaan dan pelaksanaan bisa disesuaikan tanpa mengorbankan sektor pendidikan.

"Kalau sejak awal direncanakan, tidak mungkin tidak digunakan dan terburu-buru menggunakannya di akhir ini. Karena tidak ditaruh di belanja maka seperti itu kejadiannya," kata Dolfie.

[Gambas:Video CNN]

(del/pta)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER