Ombudsman RI membeberkan penyebab harga beras di pasar tradisional kerap berada di atas harga eceran tertinggi (HET) sementara di pasar modern justru sesuai ketentuan.
Perbedaan ini dinilai menjadi bentuk subsidi silang dari pasar tradisional ke pasar modern.
Secara sederhana, subsidi silang ini terjadi karena stok beras yang harganya sesuai HET lebih banyak dialirkan ke pasar modern. Pedagang pasar tradisional justru mendapat stok yang harganya sudah lebih tinggi, sehingga mereka menjual di atas HET. Selisih harga inilah yang ibaratnya 'menutupi' harga jual di pasar modern agar tetap sesuai HET.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau kemarin saya melihat di pasar, ini ironisnya begini. Kan tadi saya katakan paling murah (harga beras di pasar) Rp12 ribu, paling mahal itu Rp16.500. Jadi, harga beras yang sekarang ada di pasar itu sudah melebihi HET-nya. Kan HET premium itu Rp14.900, sekarang, kemarin Rp16.500," kata Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika dalam konferensi pers di Gedung Ombudsman RI, Jakarta Selatan, Jumat (8/8).
"Coba bisa dibayangkan, di pasar tradisional, masyarakat ketemu dengan harga beras di atas HET. Di pasar modern, masyarakat ketemu harga HET," tambahnya.
Menurut Yeka, kebijakan HET saat ini menguntungkan konsumen di pasar modern yang umumnya berasal dari kalangan menengah atas. Sebaliknya, pembeli di pasar tradisional harus membayar lebih mahal untuk mendapatkan beras berkualitas.
"Setelah kami lihat, kami simpulkan, mengapa beras di pasar tradisional itu harganya di atas HET premium? Karena ternyata ini kompensasi bagi penggilingan atau bagi perusahaan. Di supermarket katakanlah dia rugi, maka di pasar tradisional, dia bisa dapat untung. Jadi pasar tradisional yang mensubsidi barang di pasar supermarket," ujarnya.
Data Panel Harga Pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas) periode 1-8 Agustus 2025 mencatat harga rata-rata beras medium nasional sebesar Rp14.469 per kilogram, atau 15,75 persen di atas HET nasional, yakni Rp12.500 per kg.
Zona 3 yang meliputi Papua dan Maluku mencatat kenaikan tertinggi dengan harga Rp16.936 per kilogram atau 25,45 persen di atas HET Rp13.500.
Yeka merekomendasikan agar Perum Bulog segera melepas stok beras ke pasar, termasuk yang berbau apek namun masih dapat diolah kembali, dengan menunda sementara penerapan Peraturan Badan Pangan Nasional (Perbadan) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Persyaratan Mutu dan Label Beras.
Menurutnya, larangan penggunaan beras berbau apek sebagai bahan baku berdampak pada berkurangnya pasokan.
"Kalau bau apek itu, masyarakat masih bisa konsumsi karena bisa diolah lagi. Jangan dipikir bahwa nanti beras apek, lantas konsumen akan (menolak). Itu persoalan penyimpanan saja, jadi itu bisa diproses lagi," kata Yeka.
(del/pta)