Ombudsman RI mengungkap temuan 10 dari 23 penggilingan padi di Kecamatan Tempuran, Karawang, Jawa Barat, menutup usaha karena alasan persaingan dan ketakutan berjualan di tengah kondisi pasar beras saat ini.
Memang Ombudsman tak merinci kondisi pasar yang membuat pengusaha penggilingan was-was, tetapi saat ini bisnis beras saat ini tengah dihantam kasus beras oplosan hingga berujung kasus hukum terhadap beberapa produsen.
"Yang mencolok di penggilingan, kami ngubek-ngubek di sebuah kecamatan namanya itu di sekitar Tempuran. Ketemulah beberapa penggilingan padi, ada 23 penggilingan padi di wilayah itu dan 10 sudah tutup," kata Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika dalam konferensi pers di Gedung Ombudsman, Jakarta Selatan, Jumat (8/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Apa penyebab tutupnya? Selain persaingan, juga karena kondisi yang sekarang terjadi, ada ketakutan," imbuhnya.
Ombudsman melakukan inspeksi mendadak (sidak) dari hulu ke hilir rantai pasok perberasan, mulai dari petani, penggilingan padi, pedagang, hingga Perum Bulog. Hasilnya, stok beras menipis hingga berpotensi langka.
Di tingkat penggilingan, Yeka menemukan stok rata-rata hanya tersisa 5-10 persen dari kapasitas normal. Misalnya, penggilingan yang biasanya menyimpan 100 ton kini hanya memiliki sekitar 5 ton.
Kelangkaan stok juga terjadi pada skala besar. Menurut Yeka, ada penggilingan yang biasanya menyimpan 30 ribu ton kini hanya tersisa 2 ribu ton atau sekitar 7,5 persen.
Ada pula yang dari 5.000 ton kini hanya memiliki 200 ton. Temuan serupa terlihat di pasar, seperti di Pasar Johar, Karawang, yang kini sepi pembeli sejak pukul 10.00 pagi.
Ombudsman juga memeriksa pasokan beras di ritel modern dan menemukan rak beras kosong, bahkan sebagian telah diganti menjadi rak air kemasan.
Yeka memprediksi kelangkaan ini akan berlanjut hingga awal tahun depan jika tidak ada langkah mitigasi cepat, mengingat harga gabah di tingkat petani saat ini berkisar Rp7.500-Rp8.200 per kilogram, di atas harga eceran tertinggi (HET).
Selain stok menipis, Yeka mengungkap hambatan lain, yakni kualitas sebagian beras Bulog yang tidak memenuhi ketentuan Peraturan Badan Pangan Nasional (Perbadan) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Persyaratan Mutu dan Label Beras. Sebagian beras itu merupakan impor pada Februari 2024 dan telah berumur lebih dari satu tahun.
"Ada yang berumurnya sudah satu tahun ya? Februari 2024, jadi sudah satu tahun lebih. Otomatis pasti, mohon maaf, bau apek. Sementara di dalam persyaratan mutu label, pelaku usaha dilarang mengolah ataupun juga menggunakan beras apek sebagai bahan baku untuk trading beras," ujarnya.
Ombudsman merekomendasikan Bapanas menunda sementara penerapan Perbadan Nomor 2 Tahun 2023 terkait mutu beras agar stok Bulog dapat dilepas ke pasar, termasuk beras yang berbau apek namun masih dapat diolah kembali.
Menurut Yeka, langkah ini mendesak dilakukan agar ketersediaan beras di pasaran kembali normal.
(del/pta)