Sementara itu, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan target kontribusi BUMN melihat kondisi ekonomi saat ini tampaknya cukup sulit untuk diwujudkan.
Apalagi 52 persen BUMN masih dalam kondisi merugi, sehingga ruang kontribusi ke kas negara sangat terbatas.
"Realitas tersebut memperlihatkan bahwa kontribusi negara masih bertumpu pada segelintir BUMN besar seperti Pertamina, PLN, Telkom, dan bank-bank Himbara, dan sisanya patut dipertanyakan kontribusinya. Dengan struktur yang timpang seperti ini, target ambisius ini akan cukup menantang untuk mewujudkannya," katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rendy mengatakan mengobati BUMN memerlukan langkah-langkah yang tidak mudah: restrukturisasi menyeluruh, konsolidasi atau merger perusahaan sejenis, masuknya mitra strategis untuk memperkuat modal dan efisiensi, serta penerapan good corporate governance.
Selain itu, BUMN perlu fokus kembali pada bisnis inti, memangkas unit usaha yang tidak produktif, mempercepat digitalisasi, dan melakukan restrukturisasi utang.
Namun, proses ini tidak bisa cepat. Dibutuhkan waktu, konsistensi, dan keberanian politik yang besar untuk melawan resistensi dari berbagai pihak yang selama ini menikmati status quo.
"Sementara itu, penghapusan tantiem komisaris meski memberi pesan moral dan tata kelola yang positif, secara finansial kontribusinya relatif kecil. Nilainya jauh dari cukup untuk mengubah neraca BUMN secara signifikan. Dengan kata lain, kebijakan ini hanya langkah simbolis, bukan solusi substansial untuk memperbaiki kinerja BUMN secara menyeluruh," katanya.
(agt)