ANALISIS

Butuh Rp1.620 T, Perlukah Prabowo Bangun Giant Sea Wall Pantura Jawa?

Lidya Julita Sembiring | CNN Indonesia
Rabu, 27 Agu 2025 08:25 WIB
Wacana pembangunan Tanggul Laut Raksasa di Pantura Jawa memasuki babak baru. Prabowo membentuk Badan Otorita Tanggul Laut Pantura Jawa untuk mewujudkannya. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono).
Jakarta, CNN Indonesia --

Wacana pembangunan proyek Giant Sea Wall (GSW) atau tanggul laut raksasa yang dirancang membentang di pesisir utara atau Pantura Jawa memasuki babak baru.

Presiden Prabowo Subianto pun menunjukkan keseriusannya untuk membangun proyek raksasa yang pernah disebutnya butuh Rp1.620 triliun itu melalui pembentukan Badan Otorita Tanggul Laut Pantai Utara Jawa.

Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi mengatakan pembentukan badan itu diperlukan untuk mendukung rencana pembangunan Giant Sea Wall yang telah direncanakan oleh Prabowo.

Terlebih, wacana pembangunan tanggul yang digadang bisa mengatasi permasalahan penurunan tanah di wilayah utara Jawa tersebut telah muncul sejak tahun 1990-an.

"Hal ini beberapa kali sudah disampaikan oleh Presiden dan sebetulnya itu sudah ada sejak tahun 90-an. Rencana itu juga sudah disusun sebetulnya yang berkenaan dengan pembangunan Giant Sea Wall," ujarnya kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Senin (25/8).

Prabowo bahkan telah melantik Darwin Trisna Djajawinata dan Suhajar Diantoro sebagai Wakil Kepala Badan Otorita Pengelola Pantai Utara Jawa pada saat peresmian badan tersebut.

Dengan pembentukan badan otorita tersebut, diharapkan menjadi langkah strategis untuk mempercepat pembangunan proyek tanggul laut raksasa tersebut.

Proyek ini direncanakan membentang sepanjang 500 kilometer dari Banten hingga Gresik, Jawa Timur, dengan estimasi biaya mencapai US$80 miliar. Untuk tahap awal, pembangunan di wilayah Teluk Jakarta diperkirakan memakan waktu 8 hingga 10 tahun.

Dengan kebutuhan anggaran fantastis, proyek ini disebut-sebut sebagai salah satu yang terbesar dalam sejarah pembangunan infrastruktur nasional.

Namun, di tengah ketidakpastian fiskal dan derasnya alokasi dana untuk program-program besar lainnya, muncul pertanyaan mendasar, sepadankah proyek sebesar ini dengan manfaat ekonominya?

Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menyampaikan kekhawatirannya atas rencana pemerintah tersebut.

Menurutnya, GSW bukan hanya mahal secara anggaran, tetapi juga belum tentu berdampak signifikan secara jangka panjang terhadap perekonomian nasional dan juga keselamatan wilayah pesisir Pantura.

"Proyek Giant Sea Wall ini membutuhkan dana hingga ribuan triliun. Jumlahnya lebih besar dibandingkan dengan biaya pembangunan Ibu Kota Negara (IKN). Sementara posisi penerimaan negara saat ini sedang tidak optimal, berat bagi APBN untuk membiayai proyek ini," ujar Huda kepada CNNIndonesia.com.

Meskipun GSW telah masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN), Huda menilai status tersebut tidak serta-merta menjamin pembiayaan yang realistis dan gampang dicari.

Ia menyebut dengan banyaknya program ambisius Prabowo, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), layanan kesehatan gratis, hingga kelanjutan pembangunan IKN, tekanan terhadap APBN akan kian berat.

"Kalau dipaksakan, APBN bisa jebol. Defisit akan meningkat, utang akan membengkak, dan anggaran menjadi tidak sehat," tegasnya.

Pembangunan proyek ini dengan biaya yang tinggi dinilai tidak sepadan dengan efektivitas atau dampak yang akan diberikan proyek raksasa tersebut.

Menurut Huda, dampak ekonomi dari pembangunan GSW cenderung bersifat jangka pendek dan tidak berkelanjutan. Ia membandingkan proyek ini dengan sejumlah PSN sebelumnya yang justru tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

"Saya melihat dampak GSW ini hanya temporer. Di awal, pembangunan mungkin akan mendongkrak aktivitas ekonomi. Tapi setelah selesai dibangun, kontribusinya tidak besar. Bahkan ada alternatif lain yang lebih murah untuk mitigasi bencana pesisir," jelasnya.

Dalam konteks efisiensi anggaran, Huda mempertanyakan urgensi pembangunan tanggul laut ini. Ia menyebut bahwa berbagai pendekatan berbasis komunitas dan adaptasi berbasis ekosistem seperti rehabilitasi mangrove atau pembangunan pemecah gelombang alami bisa menjadi solusi yang jauh lebih efisien dan berkelanjutan ketimbang membangun GSW.

"Misalkan dengan memperbanyak tumbuhan mangrove untuk mencegah abrasi. Itu kan lebih murah dan di beberapa tempat sudah ada programnya," terangnya.

Selain itu, Huda melihat proyek ini tidak akan terlalu menarik di mata investor karena ada keraguan atas manfaat ekonomi dan besarnya dana yang dibutuhkan.

Ia mencontohkan hal ini sama dengan situasi proyek IKN yang hingga saat ini belum sepenuhnya berhasil menarik minat investor swasta meskipun memiliki badan otorita tersendiri.

"Investor pasti akan melihat potensi keuntungannya, baik langsung maupun tidak langsung. Kalau tidak ada jaminan yang jelas dari pemerintah, nasib GSW bisa sama seperti IKN. Sama-sama kesulitan mencari investor," katanya.

Huda juga menyangsikan efektivitas pembentukan Badan Otorita Pesisir Utara Jawa untuk mengelola proyek ini. Menurutnya, badan tersebut bisa menambah beban anggaran dan tumpang tindih dengan kewenangan pemerintah daerah.

Tak hanya itu, badan yang dibentuk berpotensi berbenturan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan wilayah pesisir utara Jawa.

Ia mengingatkan bahwa pembangunan GSW akan melintasi wilayah administratif sejumlah provinsi, mulai dari Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, hingga Jawa Timur yang masing-masing memiliki otoritas dalam pengelolaan wilayah pesisir dan tata ruang.

"Jangan sampai pemerintah pusat mengambil alih penuh wilayah yang seharusnya menjadi kewenangan daerah. Ini bertentangan dengan semangat otonomi daerah," ujar Huda.

Menurutnya, pembentukan badan otorita baru perlu kajian komprehensif, tidak cukup hanya berdasarkan Perpres tentang RPJMN. Termasuk juga keterlibatan masyarakat pesisir yang kehidupannya sangat bergantung pada laut.

"Secara anggaran, ini bisa jadi pemborosan. Apakah betul-betul diperlukan? Atau hanya karena dikejar-kejar target politik dan pembangunan jangka menengah?," jelas Huda.

Bukan Proyek Komersil dan Perlu Tambah Utang Banyak


BACA HALAMAN BERIKUTNYA
HALAMAN :