Lebih dari sepekan setelah terjadi insiden penjarahan rumah Sri Mulyani, Presiden Prabowo Subianto me-reshuffle kabinetnya, termasuk mengganti posisi Menteri Keuangan.
Sebelumnya, gambar dan video yang beredar di media sosial memperlihatkan massa aksi menjarah rumah Sri Mulyani, Ahmad Sahroni, dan anggota DPR lainnya.
Bukan sekadar drama politik, pemandangan ini menjadi simbol ketidakselarasan fiskal dan kesenjangan sosial.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gelombang demonstrasi yang meluas dua pekan terakhir awalnya memang dipicu isu tunjangan DPR. Namun, substansinya jauh lebih dalam.
Aksi massa mempercepat tersebarnya fakta bahwa kerentanan fiskal Indonesia di depan mata. Apa yang seharusnya menjadi proses perlahan menuju krisis fiskal, kini terakselerasi menjadi ancaman dalam waktu dekat. Hal ini seiring dengan hilangnya kepercayaan publik dan investor terhadap kredibilitas kebijakan fiskal.
Poverty Factsheet Bank Dunia (Juni 2025) menunjukkan lebih dari dua pertiga penduduk Indonesia, sekitar 194 juta orang, hidup dengan pengeluaran kurang dari Rp50.400 per hari. Ditambah lagi, lebih dari 56% tenaga kerja masih berada di sektor informal tanpa jaminan sosial maupun kepastian kerja.
Di kalangan generasi muda dan lulusan baru, krisis pengangguran justru jauh lebih serius. Generasi yang seharusnya menjadi penggerak konsumsi dan pertumbuhan justru terhalang untuk naik kelas secara ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi 5-5,5% yang kerap diklaim pemerintah ternyata tidak diterjemahkan menjadi peningkatan pendapatan riil bagi mayoritas rakyat. Alih-alih menghadirkan kesejahteraan merata, pertumbuhan tersebut justru memperlebar jurang ketimpangan.
Inilah kontradiksi struktural yang melatari demonstrasi, sekaligus menyingkap rapuhnya fondasi fiskal Indonesia.
Jika menggunakan kacamata IMF, kerentanan fiskal menggambarkan situasi ketika pemerintah dalam kondisi yang rapuh dan berhadapan dengan kemungkinan gagal memenuhi target kebijakan fiskal (IMF, A Framework For Assessing Fiscal Vulnerability).
Pasca krisis Asia 1998, IMF menyusun kerangka untuk mendeteksi kerentanan fiskal lebih dini. Kerangka ini menilai empat kriteria utama: posisi awal fiskal, sensitivitas terhadap risiko, keberlanjutan jangka panjang, dan kelemahan struktural.
Jika kerangka itu diterapkan pada Indonesia hari ini, hasilnya memperlihatkan kesamaan yang mengkhawatirkan: pemerintah yang semakin bergantung pada utang, penerimaan yang melemah, pasar yang kehilangan kepercayaan, dan institusi yang gagal menjaga disiplin fiskal.
Dilihat dari Posisi Awal Fiskal, Indonesia saat ini sudah berada dalam debt trap. Pada 2026, pemerintah berencana menarik utang baru US$48,4 miliar, tapi 77% (US$37,1 miliar) di antaranya hanya digunakan untuk membayar bunga utang lama, dan bukan pokok.
Artinya, hanya US$11,3 miliar yang benar-benar tersisa untuk pembangunan. Defisit 2025 diproyeksikan 2,78% PDB, mendekati batas hukum 3% dan di atas target awal 2,5%.
Kemudian dari kategori Sensitivitas Risiko, pasar juga menunjukkan kegelisahan. Hal ini terlihat ketika demonstrasi memicu aksi jual tajam, sehingga IHSG terkoreksi 2,27% dan rupiah melemah hampir 1% hanya dalam sehari. Di sisi lain FDI anjlok 6,95% yoy pada kuartal II-2025, penurunan terdalam sejak 2020.
Dilihat dari Keberlanjutan Jangka Panjang, rasio pajak jatuh ke 8,42% pada semester I-2025, jauh di bawah rata-rata Asia Pasifik 19,5%. Dengan basis penerimaan sempit, negara membiayai diri lewat utang, bukan kapasitas domestik.
Akibatnya, investasi produktif yang seharusnya memperluas perekonomian, tersisih.
Pada faktor terakhir, Kelemahan Struktural, tata kelola menjadi poin terlemah. Korupsi dan pelemahan akuntabilitas fiskal membuat belanja negara tidak dikawal oleh disiplin anggaran. Hal ini juga terlihat dari gelombang aksi yang jadi cermin kerapuhan institusi -- bahwa krisis fiskal Indonesia bukan hanya soal ekonomi, melainkan juga soal politik.
Gabungan indikator ini menunjukkan textbook case kerentanan fiskal (fiscal vulnerability): utang baru digunakan untuk membayar utang lama alih-alih investasi produktif, sehingga ruang fiskal bagi pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur semakin terbatas.
Ruang manuver fiskal Indonesia masih tersedia walau semakin sempit. Isu kerentanan yang semula bisa dikelola secara gradual dalam jangka beberapa tahun, kini harus dikoreksi secara total dalam waktu yang singkat.
Kerentanan fiskal yang sebelumnya diproyeksikan baru akan berdampak besar dalam dua atau tiga tahun, sekarang justru terakselerasi menjadi risiko jangka pendek. Hal ini juga didorong oleh penurunan tingkat kepercayaan pasar.
Meski demikian, ini bukan akhir dari segalanya. Demonstrasi yang berujung reshuffle kabinet bisa menjadi titik balik yang positif, serta bisa dibaca sebagai koreksi demokrasi yang sehat.
Aksi-aksi massa dapat menjadi momentum untuk mendorong reformasi ekonomi menyeluruh, yaitu menegakkan akuntabilitas fiskal, memberantas korupsi, dan mengarahkan belanja negara ke sektor yang benar-benar dibutuhkan, seperti penyediaan lapangan pekerjaan, pendidikan, dan kesehatan.
Indonesia pernah berada di titik ini sebelumnya. Krisis 1998 memaksa lahirnya reformasi yang membangun kembali fondasi ekonomi sekaligus membuka jalan transformasi politik. Sangat memungkinkan dinamika gejolak politik hari ini akan mendorong Indonesia menuntaskan proyek ekonomi yang belum selesai itu.
Pertanyaannya, apakah para pengambil kebijakan siap dan mampu memanfaatkan momentum demokrasi ini untuk menuntaskan reformasi ekonomi?
(vws)