Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mempertanyakan hasil rapat anggota Komisi XI DPR RI yang bermitra dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) selama ini.
Ia heran mengapa permasalahan fiskal dan moneter Indonesia tidak segera diatasi, baik oleh pemerintah maupun legislatif.
Menurut Purbaya, DPR RI dan menteri keuangan (menkeu) sebelumnya punya waktu panjang untuk bertemu dalam rapat. Menkeu sebelum Purbaya adalah Sri Mulyani. Wanita yang akrab disapa Ani itu kemudian diganti oleh Presiden Prabowo Subianto pada Senin (8/9) lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Yang jadi pertanyaan saya, di sini Komisi XI rapatnya dengan menteri keuangan (Sri Mulyani) berapa ratus hari dalam setahun, kenapa tidak pernah mempertanyakan itu? Dan sekarang saya datang ke sini, tiba-tiba pertanyaan banyak sekali, yang seharusnya sudah putus pada waktu itu," ungkapnya dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi XI DPR RI di Jakarta Pusat, Rabu (10/9).
Lihat Juga : |
Purbaya mengungkapkan demo besar di Indonesia beberapa waktu belakangan adalah akumulasi dari kesalahan kebijakan fiskal dan moneter.
Usai mempertanyakan kerja DPR, Purbaya mengatakan bakal memperbaiki kebijakan-kebijakan yang salah tersebut. Hal ini akan menjadi prioritas kerjanya sebagai menkeu baru.
"Tapi gak apa-apa. Jadi, ke depan yang saya lakukan adalah memperbaiki itu (kesalahan fiskal dan moneter), sebelum mengubah yang lain. Struktural lain kita bisa ubah, tapi quick win-nya di situ. Saya akan balik kondisi yang memburuk karena langkah kita sendiri," janji sang menkeu.
Salah satu cara yang akan digenjot Menkeu Purbaya adalah percepatan belanja anggaran. Pasalnya, ia menuturkan 90 persen perekonomian Indonesia didorong oleh permintaan domestik.
Purbaya yakin betul Presiden Prabowo Subianto tidak salah menunjuknya sebagai menteri keuangan baru pengganti Sri Mulyani. Ia menekankan mengelola perekonomian bukan barang baru untuknya.
Ia kemudian mengingatkan bagaimana krisis moneter yang pernah melanda Indonesia pada 1998. Purbaya menyebut ada 'setan' yang bermain di balik krisis yang menimpa Tanah Air.
"Ketika 1997-1998 negara yang mulai diserang adalah Thailand, Korea, dan lain-lain, kenapa yang paling terpuruk kita? Saya pelajari betul apa yang terjadi waktu itu dan bagaimana mengatasi krisis kalau terjadi lagi," bebernya.
"Kita melakukan kesalahan yang fatal, pada waktu itu Bank Indonesia (BI) menaikkan bunga sampai 60 persen lebih untuk menjaga rupiah. Semua berpikir kita melakukan kebijakan uang ketat ... Tapi kalau kita lihat di belakangnya, kita mencetak uang, tumbuhnya 100 persen. Jadi, kebijakannya kacau balau. Mau ketat atau longgar? Kalau kita melahirkan kebijakan kacau, yang keluar adalah setan-setan dari kebijakan itu," jelas Purbaya.
Pada akhirnya, ia menyebut bunga tinggi menghancurkan sektor riil. Sedangkan uang yang banyak justru menyerang nilai tukar rupiah.
"Jadi, kita membiayai kehancuran ekonomi kita pada waktu itu, tanpa sadar. Bukan karena ekonom-ekonom waktu dulu bodoh atau bagaimana, tapi memang kita belum pernah mengalami keadaan seperti itu," tandasnya.
(skt/pta)