Ronny berpendapat bahwa dana MBG tidak boleh menganggur. Pasalnya, banyak masyarakat yang membutuhkan bantuan langsung pemerintah yang bisa diberikan dengan sisa anggaran Rp58 triliun tersebut.
"Sayang sekali punya anggaran Rp71 triliun tahun ini, tapi sampai September baru terealisasi Rp13 triliun. Padahal itu hak rakyat. Kalau memang ingin tetap dijalankan, bisa saja diberikan ke daerah, biar ada kerjaan di daerah. Tinggal ditingkatkan pengawasannya, dan kalau ada penyimpangan, langsung seret ke pengadilan," kata Ronny.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Senada, Peneliti dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet juga menekankan perlunya evaluasi menyeluruh atas program ini. Bila memungkinkan dihentikan sementara mengingat anggarannya tidak sedikit dan bisa lebih berguna untuk program lain.
"Menurut kami, dengan mempertimbangkan banyaknya evaluasi yang muncul, sebaiknya pemerintah untuk sementara waktu menghentikan penyaluran MBG. Langkah ini diperlukan setidaknya sampai adanya kebijakan baru atau perbaikan signifikan terhadap pelaksanaan program," jelas Rendy.
Menurutnya, pemerintah juga perlu memperjelas tujuan utama MBG. Bila hanya sekadar memenuhi kebutuhan gizi anak, maka bisa digunakan program lainnya.
"Apakah orientasinya murni untuk gizi, atau juga untuk stimulus ekonomi. Dengan begitu, manfaatnya bisa terlihat jelas dan sesuai dengan skala prioritas APBN, terutama untuk tahun mendatang," katanya.
Dengan sisa anggaran yang masih besar, muncul wacana realokasi. Rendy menyebut anggaran MBG bisa dialihkan ke program yang terbukti memberikan dampak cepat.
Misalnya, program bantuan sosial yang selama ini langsung diterima dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, terutama kelas bawah.
"Kalau orientasinya untuk stimulus perekonomian, lebih tepat dialihkan ke program bantuan sosial tunai atau subsidi/diskon yang langsung menyentuh masyarakat berpendapatan menengah ke bawah. Misalnya diskon tarif listrik. Dampaknya lebih terasa, lebih cepat, dan akuntabilitasnya lebih terukur," paparnya.
MBG sejak awal memang digadang-gadang sebagai program unggulan untuk mengatasi masalah gizi dan stunting. Namun, realisasi anggaran yang seret, problem kelembagaan, hingga maraknya kasus keracunan justru memperlihatkan betapa rapuhnya fondasi pelaksanaan program ini.
Rendy menilai serapan anggaran dalam waktu singkat justru berpotensi menambah masalah. Karena itu, evaluasi total, realokasi anggaran, dan penajaman tujuan program menjadi langkah krusial sebelum MBG benar-benar bisa menjadi solusi, bukan sekadar proyek politis dengan risiko sosial tinggi.
"Kami menilai program MBG memang perlu dievaluasi secara menyeluruh, tidak hanya pada tahun ini tetapi juga untuk tahun depan. Hal ini penting mengingat besarnya ruang fiskal yang terserap oleh program tersebut," pungkas Rendy.
(sfr)