Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) M Rizal Taufikurahman mengapresiasi penolakan Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa atas gagasan Tax Amnesty Jilid III.
Akan tetapi, penolakan Purbaya dianggap tidak serta-merta menghapus ide DPR RI yang ngotot menggolkan pengampunan pendosa pajak jilid III. Rizal juga melihat Prolegnas bertindak sebagai long list agenda legislasi.
"Namun, secara hukum, kunci tetap ada di 'persetujuan bersama' eksekutif dan legislatif. Tanpa dukungan pemerintah, amnesti pajak tidak bisa menjadi undang-undang," tegas Rizal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Artinya, penolakan Menkeu (Purbaya) adalah sinyal politik sekaligus fiskal bahwa pemerintah tidak bersedia mengorbankan kredibilitas sistem perpajakan demi penerimaan jangka pendek. Justru jika pemerintah konsisten menolak, DPR hanya menghasilkan noise legislasi, tidak policy output," sambungnya.
Ia kemudian membedah dampak penerapan amnesti pajak, di mana hanya bersifat sesaat bagi keuangan negara. Rizal mengambil contoh dari kasus Tax Amnesty 2016 dan PPS 2022 lalu yang hanya menambah tebusan serta memperluas deklarasi aset.
Akan tetapi, upaya pengampunan pendosa pajak itu gagal memperbaiki tax ratio secara struktural. Rizal menyinggung bagaimana rasio pajak Indonesia masih mandek di sekitar 10 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
"Sebaliknya, biaya institusional sangat besar, yakni insentif bagi pengemplang, moral hazard, dan persepsi ketidakadilan bagi wajib pajak patuh. Artinya, short term revenue gain tidak sebanding dengan long term compliance cost. Dalam kerangka konsolidasi fiskal 2025-2026 yang menuntut disiplin penerimaan, pilihan kebijakan yang menurunkan kredibilitas pajak justru kontra-produktif," tuturnya.
"Jika skenario terburuk, yakni Tax Amnesty Jilid III tetap dipaksakan, maka konsekuensinya adalah normalisasi perilaku wait and see wajib pajak. Pengemplang akan rasional menunda kewajiban dengan ekspektasi pemutihan berikutnya. Ini bukan sekadar risiko, tapi pola berulang yang sudah diamati pasca 2016," wanti-wanti Rizal.
Ia mendesak pemerintah berani mengumumkan 'no more tax amnesty'. Hal tersebut diperlukan sebagai commitment device untuk menutup pintu moral hazard.
Selain itu, Rizal mendorong adanya transparansi hasil audit pemerintah. Ia juga menuntut pengurangan kebijakan khusus yang melemahkan basis PPh sampai penyederhanaan aturan demi memperkuat rasio pajak secara berkelanjutan.
Rizal menekankan amnesti hanya akan memperluas defisit kepercayaan. Solusi yang harus ditempuh semestinya adalah melakukan enforcement shock berbasis data coretax, beneficial ownership, serta integrasi lintas lembaga.
"Tax Amnesty Jilid III bukan solusi fiskal berkelanjutan, melainkan fiscal illusion. Pemerintah harus konsisten menolak dan fokus pada reformasi struktural melalui coretax, intensifikasi, dan ekstensifikasi basis pajak. Kenaikan tax ratio hanya bisa dicapai lewat kepatuhan jangka panjang, bukan pemutihan berkala yang mengikis kredibilitas negara," tandasnya.
(agt)