ANALISIS

Perlukah Purbaya Evaluasi Pemotongan DBH Usai Diprotes Sherly Cs?

Feby Febrina Nadeak | CNN Indonesia
Rabu, 08 Okt 2025 06:51 WIB
Sejumlah gubernur, antara lain; Gubernur Sumut Bobby Nasution, Gubernur Malut Sherly Tjoanda memprotes pemotongan dana transfer daerah yang dilakukan Kemenkeu. (CNN Indonesia/Sakti Darma Abhiyoso).
Jakarta, CNN Indonesia --

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memangkas dana bagi hasil (DBH) ke daerah.

Salah satunya Jakarta yang DBH-nya dipangkas sekitar Rp15 triliun. Alhasil, APBD Jakarta 2026 yang seharusnya mencapai Rp95 triliun, turun menjadi Rp79 triliun.

Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung mengaku tidak mempermasalahkan pemangkasan dana bagi hasil yang dilakukan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

"Pemerintah Jakarta sama sekali tidak argue terhadap itu. Kami akan mengikuti dan kami akan menyesuaikan karena kami tahu pasti langkah yang diambil oleh pemerintah pusat sudah dipikirkan secara matang, dan kami mengikuti sepenuhnya. Termasuk penyesuaian untuk dana bagi hasil," katanya usai bertemu Purbaya di Balaikota Jakarta, Selasa (7/10).

Pramono menyatakan ia bersama Wakil Gubernur DKI Jakarta Rano Karno akan memimpin secara langsung pemanfaatan penggunaan anggaran. Seluruh organisasi perangkat daerah diminta melakukan efisiensi.

"Kita melakukan evaluasi secara menyeluruh, menyisir kembali belanja-belanja yang nonprioritas, menajamkan fokus belanja yang secara langsung akan dirasakan oleh masyarakat di Jakarta," ujarnya.

Pramono mengatakan untuk menyiasati penurunan pendanaan yang timbul akibat pemangkasan dana bagi hasil tersebut, pihaknya akan melakukan creative financing. Salah satu skema pendanaan kreatif yang akan ditempuh adalah Jakarta Collaboration Fund atau obligasi daerah.

Berbeda dengan Pramono, Gubernur Maluku Utara (Malut) Sherly Tjoanda dan 17 gubernur lainnya se-Indonesia menegaskan tak setuju dengan pemotongan anggaran daerah yang dilakukan Purbaya.

Delapan belas gubernur itu ramai-ramai mendatangi kantor Purbaya pada Selasa (7/10) pagi untuk memprotes kebijakan itu. Usai rapat, Sherly menegaskan tidak ada satu pun gubernur yang setuju anggarannya dipotong.

"Semuanya (gubernur) tidak setuju karena kemudian kan ada beban PPPK (pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja) yang cukup besar dan ada janji untuk pembangunan jalan dan jembatan yang cukup besar," kata Sherly di Kantor Kemenkeu, Jakarta Pusat, Selasa (7/10).

"Dengan pemotongan yang rata-rata setiap daerah hampir sekitar 20-30 persen untuk level provinsi dan di level kabupaten, bahkan ada tadi dari Jawa Tengah yang hampir 60-70 persen, itu berat untuk pembangunan infrastruktur," sambung Sherly.

Keluhan serupa disampaikan Gubernur Aceh Muzakir Manaf alias Mualem. Ia mengatakan anggaran untuk daerahnya bahkan dipotong hingga 25 persen.

"Semuanya kami mengusulkan supaya tidak dipotong, anggaran kita tidak dipotong karena itu beban semua di provinsi kami masing-masing," tegas Mualem.

DBH merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN. Dana dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

Ada dua jenis sumber DBH, yakni DBH yang berasal dari pendapatan pajak dan DBH yang berasal dari sumber daya alam. DBH Pajak terdiri atas Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan Cukai Hasil Tembakau (CHT). Sementara itu, DBH yang berasal dari pendapatan SDA terdiri atas minyak dan gas bumi (migas), mineral dan batu bara (minerba), panas bumi, kehutanan dan perikanan.

Lantas apa yang harus dilakukan Purbaya terkait keluhan kepala daerah itu?

Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyebut DBH memiliki peran yang sangat penting, terutama bagi daerah dengan kapasitas fiskal yang rendah.

Makanya, tak mengherankan daerah tersebut memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap transfer dana dari pemerintah pusat.

"Ketika alokasi DBH mengalami pemangkasan, kemampuan fiskal daerah khususnya yang berkapasitas kecil menjadi terbatas sehingga berpotensi menghambat pelaksanaan berbagai program pembangunan dan pelayanan publik yang telah direncanakan dalam tahun anggaran berjalan," katanya pada CNNIndonesia.com, Selasa (7/10).

Dampak pemangkasan tersebut, sambung nya, semakin terasa pada daerah yang perekonomiannya bergantung pada pengelolaan sumber daya alam (SDA). Sebab, sebagian besar DBH bersumber dari sektor SDA.

Di satu sisi, terjadi penurunan harga komoditas yang menyebabkan pendapatan ekspor dan penerimaan asli daerah ikut menurun.

Rendy mengatakan ketika dana bagi hasil turun, sementara harga komoditas juga mengalami perlambatan, daerah penghasil SDA akan menghadapi tekanan ganda.

"Akibatnya, kemampuan daerah untuk membiayai pembangunan menjadi semakin terbatas," katanya.

Untuk menutupi kekurangan tersebut, sambung Rendy, sebenarnya pemerintah daerah masih memiliki sumber pembiayaan lain melalui dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK) yang juga merupakan transfer dari pemerintah pusat.

Namun, kedua pos anggaran ini pun ikut mengalami pemangkasan, terutama untuk tahun anggaran berikutnya.

Dalam situasi ini, Rendy menilai pilihan yang tersisa bagi pemerintah daerah adalah mencari sumber pendanaan alternatif. Salah satunya melalui pinjaman daerah, baik kepada bank-bank di wilayahnya maupun lembaga keuangan lainnya.

"Akan tetapi, opsi ini tidak dapat dilakukan tanpa pertimbangan matang, karena pinjaman akan menimbulkan beban keuangan jangka panjang yang harus dikembalikan beserta bunganya. Jika tidak dikelola dengan hati-hati, pinjaman justru dapat menggerus ruang penerimaan daerah di masa mendatang dan mempersempit kemampuan fiskal pemerintah daerah untuk mendanai program-program prioritas pada tahun-tahun berikutnya," katanya.

Sementara itu, Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengatakan pemangkasan DBH bisa tepat bila tujuannya menyehatkan fiskal dan menaikkan mutu belanja, bukan sekadar menghemat kas pusat.

"Pemerintah perlu mengubah pendekatan 'potong rata' menjadi penataan berbasis kebutuhan dan kinerja: lindungi layanan dasar, logistik pangan, serta pemeliharaan infrastruktur kecil; berikan insentif bagi daerah yang cepat mengeksekusi proyek, transparan, dan rendah sisa anggaran," katanya.

Syafruddin mengatakan risiko utama dari pemangkasan DBH datang dari terhambatnya gaji aparatur kontraktual, tertundanya pemeliharaan jalan dan pasar, serta turunnya pengeluaran pemerintah daerah yang selama ini menjadi jangkar permintaan di kabupaten/kota.

Karena itu, ia mengatakan pemerintah perlu melakukan evaluasi berbasis data kas serta kinerja layanan. Pemerintah pusat katanya sebaiknya melakukan review tengah tahun yang menyorot tiga hal, yaitu keberlanjutan pembayaran gaji PPPK, progres dan kualitas pekerjaan infrastruktur, serta dampak ke aktivitas ekonomi lokal.

Ia menilai pemotongan DBH sebaiknya diperkecil dan diarahkan ulang, bukan dibatalkan sepenuhnya. Menurutnya, pertahankan penghematan pada pos yang tidak berdampak langsung, tetapi kembalikan ruang fiskal untuk gaji, layanan dasar, dan pemeliharaan yang mendukung kelancaran distribusi barang.

Lalu, terapkan mekanisme holdback bersyarat di mana sebagian DBH ditahan sampai daerah memenuhi standar transparansi, percepatan lelang, dan kualitas proyek. Setelah syarat terpenuhi, baru dana bisa segera dicairkan.

"Pendekatan ini menjaga disiplin fiskal sekaligus memastikan ekonomi daerah tetap berdenyut dan investasi swasta tidak ragu melangkah," katanya.

(agt)
KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK