Selain aspek keuangan, ia menilai kebijakan ini juga memberikan rasa keadilan sosial, apalagi untuk peserta yang memang tidak mampu untuk membayar.
"Kalau orang kaya bisa dapat tax amnesty, masa orang miskin yang ability to pay nya tidak ada ini, tidak dapat keringanan?" katanya.
Timboel menyebut kebijakan ini juga selaras dengan tiga tujuan hukum menurut Gustav Radbruch: keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Ia mengatakan, pemutihan tunggakan dapat memenuhi ketiganya sekaligus.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari sisi keadilan, kebijakan ini membantu kelompok masyarakat yang benar-benar tidak mampu agar kembali aktif sebagai peserta JKN. Dari sisi kemanfaatan, peserta bisa kembali memanfaatkan layanan kesehatan tanpa beban tunggakan yang menumpuk. Sementara dari sisi kepastian hukum, pemutihan memberikan jaminan hukum bagi masyarakat untuk tetap memiliki akses terhadap layanan kesehatan.
"Nah tentunya ini yang menurut saya harus benar-benar segera direalisasikan," imbuhnya.
Timboel juga menyoroti banyak peserta mandiri yang sebelumnya beralih ke skema Penerima Bantuan Iuran (PBI). Kondisi itu justru menambah beban anggaran negara karena banyak peserta yang sebenarnya mampu masih ditanggung pemerintah.
"Dengan pemutihan, mereka (yang masuk ke PBI saat covid) bisa kembali ke peserta mandiri dan PBI bisa diisi oleh masyarakat yang benar-benar miskin," ujarnya.
Ia menilai pemutihan akan menciptakan sistem JKN yang lebih tepat sasaran dan berkeadilan. Namun, Timboel mengingatkan pemutihan saja tidak cukup untuk mencegah tunggakan iuran kembali terjadi. Pemerintah dan BPJS Kesehatan harus memperbaiki mutu pelayanan agar peserta tidak kehilangan kepercayaan.
"Pelayanan yang buruk di fasilitas kesehatan membuat orang enggan bayar. Jadi peningkatan mutu layanan menjadi kunci menekan tunggakan," katanya.
Ia juga menekankan pentingnya pengawasan terhadap rumah sakit dan fasilitas kesehatan yang masih kerap melakukan pelanggaran. Kasus fraud dan pelayanan tidak layak masih sering ditemukan di lapangan.
Timboel turut mendorong pemerintah menjalankan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013 tentang sanksi administrasi bagi penunggak iuran BPJS. Aturan ini memungkinkan pembatasan layanan publik bagi peserta yang tidak aktif, seperti pengurusan SIM, SKCK, hingga paspor.
Ia menilai kebijakan tersebut bisa memperkuat disiplin pembayaran di kalangan peserta mandiri dengan prinsip gotong royong yang menjadi dasar dari sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Karena itu, peserta mampu harus berkontribusi, sementara yang tidak mampu tetap dilindungi melalui PBI.
"Ini bukan untuk mempersulit, tapi untuk menumbuhkan kesadaran bergotong royong," ujarnya.
Menurutnya, penerapan PP 86/2013 dan peningkatan kualitas layanan menjadi dua langkah penting pasca-pemutihan untuk memastikan tunggakan tidak kembali menumpuk di masa depan.
"Substansi hukumnya sudah ada, tinggal penegakan dan pelaksanaan di lapangan. Dengan komitmen struktural dan peningkatan pelayanan, sistem JKN bisa lebih berkelanjutan dan adil bagi seluruh rakyat," terangnya.
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita menilai kebijakan pemutihan memiliki dua sisi, yakni manfaat jangka pendek dan risiko jangka panjang. Pemutihan patut diapresiasi sebagai kebijakan sosial yang membantu masyarakat, tetapi tetap perlu diwaspadai dampaknya terhadap disiplin peserta dan keberlanjutan fiskal.
Ronny menjelaskan kebijakan ini dapat disebut sebagai relief policy atau kebijakan keringanan yang berorientasi sosial. Di tengah tekanan ekonomi, terutama bagi pekerja informal dan peserta mandiri, pemutihan ini dapat memulihkan kepesertaan aktif BPJS yang sempat macet.
"Artinya, semakin banyak masyarakat yang bisa kembali mengakses layanan kesehatan tanpa hambatan administrasi," kata Ronny.
Dari sisi politik, ia melihat kebijakan ini untuk memperkuat citra pemerintah sebagai pihak yang peduli pada pekerja dan sensitif terhadap keadilan sosial. Tentunya ini sejalan dengan semangat universal health coverage.
Namun, dari sisi negatif, Ronny menilai kebijakan ini berpotensi menimbulkan moral hazard dan risiko fiskal. Publik bisa menafsirkan kebijakan pemutihan ini sebagai sinyal bahwa tunggakan iuran pada akhirnya akan dihapuskan.
"Ini menciptakan preseden buruk terhadap disiplin kepesertaan," ujarnya.
Selain itu, hilangnya potensi penerimaan Rp7,5 triliun juga bisa memperlemah arus kas BPJS dan menambah beban APBN jika defisit pembiayaan harus ditutup dengan dana pemerintah.
Ronny menegaskan, jika kebijakan seperti ini dilakukan berulang, maka keberlanjutan sistem jaminan sosial nasional dapat terancam. Ia juga menyoroti potensi distorsi keadilan antar peserta, karena peserta yang disiplin membayar bisa merasa dirugikan.
"Dalam jangka panjang, hal itu bisa menggerus kepercayaan publik terhadap sistem," ujarnya. Ia menekankan bahwa tanpa kepercayaan, skema asuransi sosial tidak akan bisa berjalan dengan baik.
Sebagai langkah mitigasi, Ronny menyarankan empat hal. Pertama, membatasi kebijakan pemutihan ini sebagai langkah satu kali (one off policy). Kedua, perlu mengkombinasikan antara keringanan dengan peningkatan sistem kepatuhan, salah satunya dengan integrasi data.
"Misalnya dengan integrasi NIK, penerapan sanksi administratif, atau pemotongan langsung dari sumber pendapatan bagi peserta non-formal bisa menjadi opsi," jelasnya.
Ketiga, pemerintah juga perlu memperkuat edukasi publik bahwa BPJS bukan bantuan sosial, melainkan sistem gotong royong yang membutuhkan kedisiplinan bersama. Keempat, melakukan audit dan evaluasi menyeluruh terhadap segmen peserta yang paling rawan menunggak, sehingga kebijakan ke depan bisa lebih tepat sasaran dan tidak bersifat menyamaratakan.
"Intinya, kebijakan ini boleh jadi terasa populer dan tampak empatik, tapi tetap harus dilihat dengan kacamata keberlanjutan fiskal dan keadilan sosial. Kalau tidak hati-hati, pemerintah bisa jatuh dalam jebakan populisme kebijakan, di mana kebaikan jangka pendek justru menciptakan kerentanan jangka panjang," pungkasnya.
(pta)