MBG merupakan program unggulan Presiden Prabowo Subianto. Akan tetapi, serapan anggarannya justru rendah dan tidak sesuai target.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) M Rizal Taufikurahman melihat pengembalian dana Rp70 triliun menandakan perencanaan pemerintah belum matang. Di lain sisi, koordinasi antarinstansi juga masih lemah.
"BGN sebagai lembaga baru belum memiliki infrastruktur, sistem pengadaan, dan jaringan lapangan yang memadai untuk menyalurkan dana sebesar itu secara efektif. Program MBG juga terlalu ambisius di tahap awal, dengan target nasional yang tidak sebanding dengan kesiapan daerah, baik dari sisi kapasitas dapur, rantai pasok bahan makanan bergizi, maupun mekanisme verifikasi penerima manfaat," tuturnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kondisi ini memperlihatkan bahwa orientasi politik kebijakan lebih menonjol dibanding kesiapan teknokratis. Akibatnya, realisasi belanja rendah, sementara dampak terhadap konsumsi dan penurunan stunting belum signifikan," kritik Rizal.
Dengan sisa waktu dua bulan pada 2025, Prabowo diminta memanfaatkan dana Rp70 triliun untuk kegiatan dengan efek pengganda tinggi. Rizal berpesan uang sisa itu mesti diarahkan ke program siap eksekusi dan berdaya dorong langsung terhadap perekonomian.
Ia menyebut alokasi paling efektif antara lain program padat karya dan bantuan sosial bergizi. Penyalurannya bisa dilakukan melalui jaringan Kementerian Sosial (Kemensos) dan Bulog demi memperkuat daya beli rumah tangga miskin sekaligus menjaga stabilitas harga pangan.
Duit tersebut juga bisa disalurkan ke sektor produktif, seperti pertanian, perikanan, dan UMKM melalui skema modal kerja bergulir atau penyertaan modal ke BUMN pangan. Hal tersebut ditempuh agar manfaatnya segera terserap, tanpa menciptakan program baru yang berisiko tidak tersalurkan.
"Kegagalan Badan Gizi Nasional menyerap dana sebesar Rp70 triliun dari total pagu Rp171 triliun program MBG pada 2025 merupakan sinyal serius lemahnya kesiapan kelembagaan dan desain kebijakan publik," tegas Rizal.
Oleh karena itu, ia mendorong pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap anggaran Rp335 triliun di 2026. Rizal memberikan 3 catatan agar kejadian tahun ini tidak terulang.
Pertama, pembagian peran antarlembaga yang perlu dipertegas. BGN cukup berperan sebagai pengendali mutu dan perumus standar, sedangkan pelaksanaan teknis dilakukan oleh kementerian dan pemerintah daerah yang sudah memiliki infrastruktur layanan sosial.
Kedua, implementasi sebaiknya dilakukan secara bertahap mulai dari wilayah prioritas dengan tingkat stunting tinggi agar anggaran terserap efektif dan berdampak terukur. Ketiga, pemerintah harus memperkuat sistem digitalisasi dalam pengadaan, distribusi, dan pelaporan supaya tidak terjadi keterlambatan birokratis.
"Kegagalan serapan tahun ini harus menjadi pelajaran bahwa efektivitas fiskal tidak hanya bergantung pada besarnya anggaran, tetapi pada kesiapan desain dan tata kelola program. Jika tidak dibenahi, program MBG berpotensi menjadi fiscal black hole baru yang besar dalam komitmen politik, namun kecil dalam hasil ekonomi dan sosial," wanti-wanti Rizal.
"Oleh karena itu, realokasi dana Rp70 triliun sebaiknya diarahkan pada sektor yang memberikan efek langsung pada konsumsi, penciptaan lapangan kerja, dan stabilitas harga pangan. Sambil memperkuat sistem kelembagaan agar APBN 2026 benar-benar menjadi instrumen pembangunan yang produktif dan berkeadilan," tambahnya.
(pta)