Direktur Supply Chain PT Pupuk Indonesia (Persero), Robby Setiabudi Madjid, menegaskan bahwa Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi lumbung pangan dunia. Hal ini didukung keunggulan geografis serta upaya pemerintah dan sektor swasta dalam memperkuat ekosistem pertanian nasional.
"Indonesia dianugerahi tanah yang subur dan iklim tropis sehingga petani dapat menanam serta panen sepanjang tahun. Jika keunggulan ini didukung penyempurnaan unsur usaha tani, maka kita bisa melakukan lompatan besar dalam ketahanan pangan," ujar Robby dalam dialog Indonesia Lumbung Pangan Dunia dari Hulu ke Hilir dikutip Senin (20/10).
Menurutnya, berbagai program pemerintah melalui Kementerian Pertanian dan Kemenko Bidang Pangan sudah mengarah ke sana, mulai dari penyediaan bibit unggul, perbaikan irigasi, peningkatan kualitas SDM pertanian, hingga penambahan luas tanam. Di sisi lain, Pupuk Indonesia berperan menjaga pasokan pupuk agar tersedia dan terjangkau bagi petani.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau ngomong masalah pupuk, kata kuncinya itu hanya dua yang penting, ketersediaan dan keterjangkauan. Kenapa ketersediaan pupuk menjadi sangat penting? Karena sesuai penelitian, 62% kontribusi dari hasil produksi pangan jagung dan padi itu, 62% itu disupport atau dikontribusi dari sistem pemupukan yang berimbang," ujarnya.
Subsidi Jadi Penyangga
Robby menekankan pentingnya keterjangkauan pupuk. Berdasarkan hasil riset Pupuk Indonesia, kenaikan harga pupuk sebesar Rp1.000 per kilogram bisa membuat petani mengurangi dosis pemupukan hingga 14%.
"Akibatnya, produksi jagung dan padi bisa. Dampaknya sangat signifikan," ujarnya.
Untuk mengantisipasi fluktuasi harga, pemerintah menerapkan dua instrumen kebijakan strategis. Pertama, subsidi harga pupuk di hilir sehingga petani bisa membeli di bawah harga pasar. Kedua, pemberian harga gas bumi tertentu untuk industri pupuk agar biaya produksi tetap terkendali.
"Sekitar 70% biaya produksi pupuk berasal dari gas bumi. Syukurlah seluruh kebutuhan gas untuk fasilitas produksi kami masih dipasok dari sumber dalam negeri, sehingga tidak terpapar risiko geopolitik global," tambah Robby.
Distribusi Lebih Singkat dan Transparan
Perubahan besar juga terjadi di sisi distribusi. Melalui Perpres Nomor 6 Tahun 2025, pemerintah memangkas jalur distribusi pupuk dari empat lini menjadi langsung ke titik serah. Hal ini, menurut Robby, membuat penyaluran lebih cepat dan efisien.
"Dulu ada 145 regulasi yang harus dilalui sebelum pupuk sampai ke petani. Sekarang hanya ada satu aturan turunan, Permentan Nomor 5 Tahun 2025. Produsen bisa langsung menyalurkan ke titik serah. Tidak ada lagi cerita pupuk langka," katanya.
Pupuk Indonesia kini mengoperasikan 48 pabrik di lima lokasi, didukung 12 kapal, 6.150 armada darat, dan lebih dari 500 gudang di seluruh kabupaten. Perusahaan menyalurkan pupuk hingga 26 ribu titik serah, diperkuat dengan digitalisasi melalui aplikasi iPubers.
"Dengan iPubers, petani yang terdaftar bisa memesan pupuk secara digital, dan data serapan langsung masuk ke Kementerian Pertanian secara real time. Per kemarin, serapan pupuk sudah lebih dari 6 juta ton, dan kami proyeksikan menembus 8,2 juta ton hingga akhir tahun, tertinggi dalam tiga tahun terakhir," jelas Robby.
Ketegasan di Titik Serah
Pupuk Indonesia juga mengambil langkah tegas terhadap penyimpangan distribusi. Robby menegaskan, Pupuk Indonesia tidak segan tindak tegas apabila ada kios terbukti melanggar
"Semua hal yang bisa mengganggu tujuan akhir kita, yaitu ketahanan pangan, harus ditindak tegas. Reformasi distribusi pupuk ini bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga soal integritas," tegasnya.
Robby menutup dengan optimisme, bahwa kolaborasi pemerintah dan dunia usaha akan mengantarkan Indonesia menjadi salah satu kekuatan pangan global.
"Dengan dukungan regulasi yang berpihak, distribusi yang efisien, serta komitmen menjaga ketersediaan dan keterjangkauan pupuk, kami yakin cita-cita ketahanan pangan nasional akan tercapai," pungkasnya.
(inh)