Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menanggapi kekhawatiran publik soal besarnya utang pemerintah yang per Juni 2025 tercatat mencapai Rp9.138 triliun.
Ia menegaskan kondisi fiskal Indonesia masih aman dan terkendali, sehingga tidak ada alasan untuk panik terhadap kemampuan negara membayar kewajiban tersebut.
"Kenapa Anda khawatir tentang utang?" tanya Purbaya dalam sesi diskusi dengan ekonom INDEF Aviliani di acara Sarasehan 100 Ekonom Indonesia di Menara Bank Mega, Jakarta Selatan, Selasa (2910).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kata siapa (uangnya enggak cukup)? Kalau Anda belajar fiskal kan tahu rasio atau ukuran-ukuran satu negara bisa bayar utang seperti apa. Bayar mau atau mampu," tambah dia.
Purbaya menjelaskan lembaga pemeringkat (rating agency) menilai kemampuan fiskal suatu negara berdasarkan dua indikator utama, yaitu deficit to GDP ratio dan debt to GDP ratio. Dalam hal ini, posisi Indonesia disebut masih sangat sehat.
"Kita lihat yang paling strict katanya di mana? Maastricht Treaty kan. Berapa deficit to GDP-nya? 3 persen. Debt to GDP ratio-nya yang dianggap aman 60 persen. Kita berapa? Deficit-nya di bawah 3 persen. Tax ratio-nya di bawah 40 persen. Jadi dengan standar internasional yang paling ketat pun, kita masih prudent," jelasnya.
Ia juga membandingkan rasio utang Indonesia dengan sejumlah negara besar di dunia. Menurutnya, dibandingkan Eropa yang banyak memiliki rasio utang mendekati 100 persen, Amerika Serikat 100 persen, Jepang 275 persen, dan Singapura sekitar 90 persen, posisi Indonesia masih jauh lebih aman.
"Jadi dari ukuran itu harusnya saya aman. Jadi Ibu enggak usah terlalu panik," ujar Purbaya.
Purbaya memastikan pemerintah berkomitmen menjaga defisit anggaran tetap terkendali dalam batas aman.
"Udah kita ajarin masyarakat bahwa kita aman. Dan saya enggak akan tembus 3 persen deficit to GDP ratio. Anytime soon enggak akan berubah, enggak akan saya ubah itu, saya akan jaga terus. Tahun ini, tahun depan," katanya.
Menurutnya, bila perekonomian nasional tumbuh lebih kuat di masa depan, barulah pemerintah dapat mempertimbangkan langkah-langkah strategis untuk mengelola utang secara lebih fleksibel.
"Nanti kalau tumbuh kita udah 7 persen, misalnya 7 persem, kita pertimbangkan. Perlu enggak kita kurangin pajak? Atau perlu enggak kita kurangin debt-nya? Atau perlu enggak kita tambahin debt-nya untuk nembus 8 persen? Tapi kan hitungannya clear di atas kertas," ujarnya.
Purbaya juga menilai belanja pemerintah yang gencar saat ini justru diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
"Belanja lah sebanyak-banyaknya, tapi ingat kantong sendiri jangan utang. Perlu untuk mendorong pertumbuhan ekonomi," katanya.
Data Kementerian Keuangan menunjukkan posisi utang pemerintah per Juni 2025 mencapai Rp9.138 triliun, terdiri dari pinjaman sebesar Rp1.157 triliun dan surat berharga negara (SBN) Rp7.980 triliun.
Angka ini sedikit menurun dibandingkan posisi Mei 2025 sebesar Rp9.177 triliun, namun masih lebih tinggi dari akhir 2024 yang tercatat Rp8.813 triliun.
Rasio debt to GDP Indonesia berada di level 39,86 persen, yang dikategorikan masih moderat dibandingkan negara lain.