Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid menyebut sengketa tanah yang membuat Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla (JK) marah adalah kasus yang sudah bergulir sejak 1990-an.
Nusron mengatakan sengketa tanah 16,4 hektare di Tanjung Bunga, Makassar itu telah berlangsung puluhan tahun sebelum masa kepemimpinannya di ATR/BPN.
Sengketa tersebut melibatkan sejumlah pihak, seperti PT Hadji Kalla, PT Gowa Makassar Tourism Development (GMTD) yang terafiliasi dengan Lippo Group, serta Mulyono dan Manyombalang Dg. Solong.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kasus ini merupakan produk tahun 1990-an. Justru kini terungkap karena kami sedang berbenah dan menata ulang sistem pertanahan agar lebih transparan dan tertib," kata Nusron, Minggu (09/11), dikutip dari keterangan tertulis.
Penelusuran Kementerian ATR/BPN menyimpulkan bidang tanah yang kini menjadi objek sengketa ternyata memiliki dua dasar hak yang berbeda.
Pertama, sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama PT Hadji Kalla yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kota Makassar pada 8 Juli 1996. Sertifikat itu berlaku hingga 24 September 2036.
Lalu ada Hak Pengelolaan (HPL) atas nama PT Gowa Makassar Tourism Development (GMTD) Tbk, yang berasal dari kebijakan Pemerintah Daerah Gowa dan Makassar sejak tahun 1990-an.
Selain itu, ada gugatan dari Mulyono serta putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor 228/Pdt.G/2000/PN Makassar dalam perkara antara GMTD melawan Manyombalang Dg. Solong, di mana GMTD dinyatakan sebagai pihak yang menang.
Nusron menyampaikan secara hukum, putusan tersebut hanya mengikat para pihak yang berperkara dan ahli warisnya. Dengan demikian, tidak otomatis berlaku terhadap pihak lain di lokasi yang sama. Namun, ia menegaskan fakta hukum juga menunjukkan PT Hadji Kalla memiliki hak atas dasar penerbitan yang berbeda.
"Fakta hukum menunjukkan bahwa di lahan itu terdapat beberapa dasar hak dan subjek hukum berbeda. Karena itu, penyelesaiannya harus berdasarkan data dan proses administrasi yang cermat, bukan dengan mengeneralisasi satu putusan," ucap Nusron.
Menurutnya, eksekusi di lapangan merupakan kewenangan Pengadilan Negeri Makassar sesuai dengan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkrah). Kementerian ATR/BPN menjalankan fungsi administratif berdasarkan data pertanahan yang sah.
Untuk itu, Kantor Pertanahan Kota Makassar telah mengirim surat resmi kepada Pengadilan Negeri Makassar guna meminta klarifikasi dan koordinasi teknis.
"Termasuk perlunya konstatiring administratif sebelum pelaksanaan eksekusi agar tidak terjadi salah objek," ujar Nusron.
Ia menegaskan Kementerian ATR/BPN tidak berpihak kepada siapa pun, baik PT Hadji Kalla, PT GMTD (Lippo), Mulyono, maupun Manyombalang Dg. Solong.
"Kami berdiri di atas hukum, bukan di atas kepentingan siapa pun. Fokus kami membenahi sistem agar ke depan setiap hak atas tanah berdiri di atas kepastian hukum," tutup Nusron.
(dhf)