Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa punya pekerjaan rumah (PR) membenahi gerbang impor Indonesia yang dibanjiri produk-produk tak sesuai harga asli alias under invoicing.
Praktik nakal mengakali harga barang tersebut ditemukan Purbaya dalam inspeksi mendadak (sidak) di Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai Tipe Madya Pabean (KPPBC TMP) Tanjung Perak, Surabaya pada Rabu (12/11). Ia menemukan barang cukup canggih yang dilaporkan seharga US$7 alias Rp117 ribu, padahal aslinya dijual Rp50 juta.
"Harganya Rp100 ribu, gila murah banget. Ini Rp50 jutaan di pasar, berarti mereka ambil untung gede ya," kata sang Bendahara Negara dalam video sidak yang diunggah di akun TikTok @purbayayudhis, Kamis (13/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia kemudian meminta Kantor Balai Laboratorium Bea dan Cukai (KBLBC) Kelas II Surabaya untuk mengecek ulang. Purbaya menilai barang tersebut terlalu bagus untuk harga yang dicantumkan dalam dokumen pengiriman.
Purbaya mengklaim kualitas laboratorium milik pemerintah sejatinya sudah memadai untuk melakukan pengecekan barang-barang impor tersebut. Ia bahkan tak ragu menambah fasilitas laboratorium Bea Cukai jika memang diperlukan.
"Saya bilang ke teman-teman lab, kalau kurang peralatan kasih tahu, sehingga bisa kita lengkapin. Saya juga lihat container scanner, baru dua minggu sudah banyak dipasang," jelasnya.
"Ini kan IT-based, saya akan tarik ke Jakarta sehingga orang Jakarta bisa lihat langsung apa yang terjadi di lapangan," tegas Purbaya.
Pengamat Ekonomi Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengatakan kasus yang ditemukan Purbaya juga berpotensi muncul dari rekayasa klasifikasi kode HS. Di lain sisi, ia menyoroti potensi pemecahan barang kiriman agar lolos profiling risiko.
Ia mengatakan para importir bisa menggunakan pemasok di luar negeri, memanipulasi invoice, serta menutup jejak lewat pembayaran pihak ketiga. Ketika data harga pembanding lemah, petugas Bea Cukai di lapangan bakal kesulitan menilai kewajaran nilai transaksi yang sesuai Customs Valuation Agreement (CVA).
"Keterlambatan integrasi data marketplace, manifes, dan perbankan memperlebar celah," ucap Syafruddin kepada CNNIndonesia.com.
"Di sisi lain, beban pemeriksaan tinggi dengan sumber daya terbatas membuat sebagian kontainer hanya diseleksi berdasarkan risiko historis, bukan anomali harga per unit secara real time. Kombinasi faktor ini memungkinkan selisih harga ekstrem tanpa langsung tertangkap pada saat clearance," tuturnya.
Menurutnya, celah praktik-praktik nakal ini muncul dari dua sisi. Ada potensi kolusi oknum-oknum tertentu serta munculnya kelemahan sistemik pada penilaian pabean. Ia mendorong Purbaya memukul dua sisi sekaligus.
Syafruddin menegaskan perlunya revitalisasi risk engine nasional berbasis anomaly detection nilai per unit lintas HS. Selain itu, mesti ada integrasi data scan, laboratorium, invoice, pembayaran, dan harga barang pada pasar dalam jaringan (daring).
Ia juga mendorong kewajiban post-clearance audit yang tajam. Menurutnya, Purbaya harus menggunakan mirror statistics dari negara mitra untuk seleksi kasus dan menerbitkan binding valuation rulings agar konsisten dengan pedoman CVA.
"Perluas program Authorized Economic Operator untuk importir berisiko rendah sehingga sumber daya fokus pada komoditas dan pelaku berisiko tinggi. Tutup peluang kolusi lewat rotasi jabatan, prinsip four-eyes, jejak audit digital, publikasi metrik penindakan triwulanan, dan sanksi yang proporsional serta pasti," sarannya.
Ia pun mewanti-wanti praktik serupa sangat mungkin muncul pada barang terdiferensiasi dan punya margin tinggi, seperti barang elektronik, suku cadang, mesin, kosmetik, dan fesyen, yang sulit dibandingkan satu per satu.
"Potensi kerugian negara dapat mencapai ratusan miliar hingga triliunan rupiah per tahun, bergantung skala under declaration dan tarif efektif (bea masuk, PPN impor, PPnBM, PPh 22)," prediksinya.
"Efek rambatnya menekan produsen patuh, menggerus lapangan kerja padat karya, dan merusak kredibilitas data perdagangan. Penutupan celah cepat akan mengembalikan penerimaan sekaligus memperkuat level playing field industri," imbuh Syafruddin.
Ekonom Bright Institute Muhammad Andri Perdana menegaskan praktik under invoicing sering terjadi dalam kasus pengemplangan penerimaan negara. Akar masalahnya adalah permainan oknum Direktorat Jenderal Bea Cukai.
"Memang kalau under invoicing itu merupakan hal yang tidak bisa terjadi tanpa ada permainan oknum di Bea Cukai," kata Andri.
Ia kemudian mengutip laporan Global Financial Integrity yang dirilis pada 2016 lalu. Ada estimasi kerugian negara dari praktik-praktik under invoicing, baik dalam ekspor maupun impor. Indonesia rugi sekitar US$2,6 miliar atau setara Rp43,4 triliun (asumsi kurs Rp16.728 per dolar AS). Kerugian itu muncul tidak hanya dari bea masuk, melainkan pajak pertambahan nilai (PPN) hingga pajak penghasilan (PPh) yang hilang.
"Kenapa oknum itu terus terjadi? Ya karena tidak ada penindakan. Selama ini kita lihat penindakannya memang tidak ada sama sekali. Kita ingin melihat sebenarnya tindak lanjut dari perkataan Pak Purbaya ataupun juga pernyataan-pernyataan Pak Purbaya bahwa sudah punya namanya (oknum pejabat Bea Cukai nakal), sudah tahu siapa yang bermain," kritik Andri.
Ia mendorong pemberian efek jera kepada oknum-oknum yang bermain dan berpotensi merugikan negara, serta mendukung upaya pemeriksaan dan perbaikan sistem Bea Cukai, jika dirasa masih ada celah.
(pta)