ANALISIS

Resep Cukai Baru ala Purbaya Sasar Popok hingga Tisu Basah, Tepatkah?

Lidya Julita Sembiring | CNN Indonesia
Rabu, 12 Nov 2025 07:35 WIB
Tanpa desain tepat dan sensitivitas sosial, pengenaan cukai ke produk esensial seperti popok bayi hingga tisu basah akan jadi bumerang dan MBR paling dirugikan.
Tanpa desain tepat dan sensitivitas sosial, pengenaan cukai ke produk esensial seperti popok bayi hingga tisu basah akan jadi bumerang dan MBR paling dirugikan. (Foto: ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso)
Jakarta, CNN Indonesia --

Rencana Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memperluas objek barang kena cukai (BKC) lewat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2025-2029 memantik perdebatan publik.

Dalam beleid itu, pemerintah membuka ruang untuk mengenakan cukai pada sejumlah barang konsumsi harian seperti popok, tisu basah, makanan mengandung micin, hingga makanan dan minuman kemasan.

Purbaya dalam aturan itu menekankan langkah ini sebagai bagian dari strategi fiskal baru untuk memperkuat penerimaan negara di tengah tantangan ruang fiskal yang kian sempit.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, di sisi lain, kebijakan tersebut memunculkan kekhawatiran soal dampaknya terhadap daya beli masyarakat dan keadilan sosial ekonomi.

Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P Sasmita, menilai kebijakan ini merefleksikan arah baru pemerintah dalam mengelola fiskal di tengah ketidakpastian global. Strategi memperluas basis penerimaan melalui cukai menjadi cara pemerintah menambal potensi defisit, tanpa harus menaikkan pajak langsung.

"Langkah ini bisa dipahami sebagai upaya memperluas basis penerimaan negara di tengah keterbatasan ruang fiskal. Namun, jangan lupa bahwa ada sisi lain yang tak kalah penting, yakni dampaknya terhadap keadilan sosial dan daya beli masyarakat," kata Ronny kepada CNNIndonesia.com.

Ronny menegaskan penerapan cukai terhadap barang-barang seperti popok atau tisu basah tidak bisa dipandang sebatas strategi menambah pendapatan. Sebab, barang-barang tersebut masuk kategori kebutuhan esensial, terutama bagi kelompok rumah tangga menengah ke bawah.

"Kalau hanya dilihat dari sisi penerimaan, kebijakan ini memang tampak menjanjikan, tetapi kalau dilihat dari sisi keadilan sosial, risikonya besar," ujar Ronny.

Menurutnya, kelompok berpendapatan rendah akan menjadi pihak paling terdampak dari kenaikan harga akibat cukai. Nilai pasar produk-produk seperti popok mencapai sekitar Rp20 triliun per tahun.

Ronny melihat dengan pengenaan tarif cukai popok misalnya 10 persen saja, maka potensi penerimaan negara bisa menyentuh Rp1,5 triliun hingga Rp2 triliun. Namun, manfaat fiskal tersebut berpotensi menimbulkan efek domino terhadap konsumsi masyarakat.

Menurut Ronny, kebijakan cukai terhadap barang konsumsi sehari-hari memiliki karakter regresif, di mana beban terbesar justru ditanggung oleh kelompok masyarakat berpendapatan rendah MBR).

"Efeknya bisa berantai: konsumsi turun, industri melemah, dan sektor ritel ikut tertekan," katanya.

Karena itu, Ronny menilai pemerintah perlu mengedepankan pendekatan berbasis data mikro sebelum memutuskan tarif maupun cakupan produk. Kajian tentang elastisitas harga terhadap permintaan wajib dilakukan agar kebijakan ini tidak kontraproduktif terhadap pemulihan ekonomi.

Selain itu, pemerintah perlu memastikan desain kebijakan cukai bersifat progresif, bukan menyamaratakan semua produk.

"Misalnya, cukai hanya untuk varian premium atau produk non-esensial, bukan untuk kebutuhan dasar seperti popok bayi," jelas Ronny.

Ronny juga menyarankan apabila hasil kajian nantinya diterapkan, agar dilakukan secara bertahap melalui mekanisme uji coba. Pendekatan gradual akan memberi ruang bagi industri untuk beradaptasi, serta bagi masyarakat untuk menyesuaikan pola konsumsi tanpa tekanan mendadak.

Tak hanya itu, sebagian penerimaan dari cukai baru tersebut bisa diarahkan untuk program kompensasi sosial. Misalnya, subsidi bagi rumah tangga miskin atau pembiayaan program kesehatan anak dan lingkungan.

"Kalau penerimaan cukai digunakan untuk tujuan yang transparan dan pro-rakyat, legitimasi publik akan lebih kuat," imbuhnya.

Cukai Jadi Senjata Pengendali, Tak Sebatas Penutup Lubang Fiskal

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER