Rumah Hijau: Penting Beneran atau Cuma Pencitraan?

Semen Merah Putih | CNN Indonesia
Jumat, 14 Nov 2025 15:52 WIB
(Foto: dok Semen Merah Putih)
Jakarta, CNN Indonesia --

Tren hunian berkelanjutan semakin populer di kalangan masyarakat urban Indonesia. Namun, peningkatan minat terhadap konsep sustainable housing kini ternyata memunculkan pertanyaan, apakah rumah hijau benar-benar solusi masa depan atau hanya strategi pemasaran berbalut praktik greenwashing?

Sektor konstruksi memiliki peran besar dalam isu ini. Menurut Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), bangunan menyumbang sekitar 30 persen dari total konsumsi energi nasional, dan 70 persen emisi gas rumah kaca di perkotaan. Kondisi ini menuntut industri untuk mengambil langkah nyata, bukan sekadar mengklaim "hijau".

Salah satu produsen beton siap pakai dan pracetak yang kerap digunakan dalam pembangunan rumah, Beton Merah Putih menyatakan pendapat tegasnya soal klaim "hijau" tersebut. Anak usaha Semen Merah Putih ini berkomitmen melawan praktik greenwashing. Bagi perusahaan ini, pembangunan rumah berkelanjutan adalah kebutuhan mendasar yang harus didukung kualitas material dan transparansi proses.

Memang kenyataannya, saat ini banyak pengembang masih menggunakan istilah "rumah hijau" secara longgar tanpa dasar teknis yang kuat. Konsep hunian berkelanjutan ditegaskan mencakup efisiensi energi, sistem daur ulang air, penggunaan material lokal, serta desain yang menyesuaikan iklim.

Hunian hijau seharusnya dapat memadukan efisiensi energi, sistem daur ulang air, penggunaan material lokal, dan desain yang responsif iklim. Bukan hanya memenuhi tren desain, tetapi menghadirkan manfaat jangka panjang bagi penghuninya.

Cara paling efektif melawan greenwashing adalah lewat durabilitas dan kualitas material. Klaim ramah lingkungan dipastikan sia-sia jika bangunan cepat rusak dan menimbulkan biaya tambahan.

Sebenarnya, generasi muda pun ikut terpapar tren gaya hidup hijau ini, dengan banyak anggapan menilai rumah hijau sebagai simbol prestise, bukan kebutuhan. Biaya pembangunan yang dianggap tinggi sering menjadi kendala, sehingga beberapa pengembang memanfaatkan isu ini untuk meningkatkan nilai jual. Transparansi, sertifikasi independen, dan edukasi publik sangat penting agar konsumen tidak mudah tertipu klaim hijau yang tidak berdasar.

Pembangunan rumah berkelanjutan diakui membutuhkan biaya awal lebih tinggi, mulai dari material ramah lingkungan hingga teknologi efisiensi energi. Namun, menurut Green Building Council Indonesia (GBCI), selisih biaya investasi 5 hingga 10 persen dibanding bangunan konvensional, dapat tertutup dalam 3 hingga 5 tahun melalui penghematan energi dan air.

Terlebih, bangunan bersertifikat hijau dapat menekan biaya operasional hingga 30 persen per tahun. Sehingga, keberlanjutan ini tidak menjadi beban biaya, melainkan investasi jangka panjang dengan memperhatikan detail pemilihan material berkualitas dan proses konstruksi yang transparan.

Prospek Hunian Berkelanjutan di Indonesia

Pemerintah Indonesia saat ini memberi dukungan terhadap konsep hunian berkelanjutan melalui regulasi dan insentif energi terbarukan.

Inovasi teknologi seperti AI, IoT, dan material ekologis juga mempercepat adopsi hunian berkelanjutan di Indonesia. Hal itu diikuti kolaborasi antara pengembang, arsitek, regulator, dan konsumen yang mendorong penerapan konsep rumah hijau secara nyata.

Sebagai bagian dari komitmen meningkatkan literasi keberlanjutan di sektor konstruksi, Semen Merah Putih menghadirkan Podcast Ruang Ratih Episode 3 bertema "Sustainable Housing: Gaya Hidup atau Gimmick?"

Episode ini membahas secara lugas fenomena rumah hijau di Indonesia, mulai konsep ideal, tantangan biaya, hingga bahaya greenwashing, demi membangun kesadaran bahwa rumah hijau sejati adalah soal ketahanan dan tanggung jawab jangka panjang.

Podcast Ruang Ratih Episode 3 bisa disaksikan di kanal YouTube Semen Merah Putih.

(rea/rir)


KOMENTAR

TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK