Pengusaha yang tergabung dalam Himpunan Kawasan Industri Indonesia (HKI) mengusulkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) diturunkan secara bertahap hingga sebesar 8 persen pada 2028.
HKI mengusulkan tarif PPN 11 persen yang berlaku sekarang diturunkan bertahap menjadi 10 persen pada 2026, lalu menjadi 9 persen pada 2027, kemudian 8 persen pada 2028.
Pengusaha kawasan industri menilai penyesuaian tarif PPN sangat diperlukan untuk mendukung pemulihan ekonomi, terutama di sektor industri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketua Umum HKI Akhmad Ma'ruf Maulana mengakui tarif PPN 11 persen saat ini bukan satu-satunya penyebab pelemahan ekonomi belakangan ini, tetapi pajak tinggi ini turut menekan konsumsi dan memicu perlambatan permintaan, yang dampaknya cukup terasa di sektor industri.
"Kami melihat penjualan turun dan ekspansi tertunda di banyak sektor. Bukan karena satu faktor saja, tetapi PPN yang tinggi ikut memberi tekanan pada pasar. Penurunan tarif secara bertahap akan membantu memulihkan keyakinan konsumen dan menggerakkan kembali produksi," kata Ma'ruf dalam keterangan resmi, Selasa (18/11).
Ma'ruf menjelaskan dampak penurunan PPN tidak dapat dihitung secara statis hanya dari penerimaan negara saja. Sebab, konsumsi juga bisa naik jika tarif PPN lebih rendah/
"Ketika tarif turun, konsumsi naik, dan volume transaksi meningkat. Dalam banyak skenario, total penerimaan PPN justru bisa membaik karena basis pajaknya menjadi lebih besar," tambahnya.
Lebih lanjut, HKI menegaskan penurunan PPN tidak hanya mendorong konsumsi, tetapi juga meningkatkan aktivitas industri di kawasan industri.
"Tarif 10 persen pada 2026 akan mengembalikan stabilitas. Penurunan lebih lanjut ke 9 persen dan 8 persen pada 2027-2028 akan menjadi akselerator pertumbuhan kawasan industri. Dampaknya langsung terasa, permintaan lahan naik, investasi baru masuk, dan kawasan industri menjadi pusat kegiatan ekonomi," ujar Ma'ruf.
Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa sempat membuka peluang menurunkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) pada tahun depan. Namun untuk mengambil langkah itu, ia akan melihat situasi perekonomian dan penerimaan negara sampai akhir tahun ini.
"Kita akan lihat seperti apa akhir tahun ekonomi seperti apa, uang yang saya dapati seperti apa sampai akhir tahun," katanya dalam konferensi pers APBN Kita di Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Selasa (12/10).
Purbaya mengatakan penurunan tarif PPN memang bisa mendongkrak daya beli masyarakat.
"Saya sekarang belum terlalu clear nanti akan kita lihat, bisa enggak kita turunkan PPN. Itu untuk mendorong daya beli masyarakat ke depan tetapi kita pelajari hati-hati," jelasnya.
Akan tetapi dalam pernyataan terbarunya, Purbaya menyadari bahwa keputusan menurunkan tarif pajak bukanlah perkara sederhana.
Sebab, setiap penurunan tarif sekecil apa pun, kata dia, memiliki konsekuensi langsung terhadap penerimaan negara. Berdasarkan hitungan Purbaya, setiap penurunan 1 persen tarif PPN bisa membuat negara kehilangan pendapatan sekitar Rp70 triliun dalam setahun.
Menurutnya, angka sebesar itu tentu tidak bisa diabaikan begitu saja, karena akan memengaruhi ruang fiskal pemerintah dalam membiayai program prioritas. Oleh sebab itu, Purbaya menegaskan perlu waktu untuk menghitung secara cermat dampak fiskal maupun potensi pertumbuhan ekonomi jika tarif PPN benar-benar diturunkan.
"Jadi kita pikir-pikir. Gini deh, saya hitung dulu sebetulnya kemampuan kita yang mengumpulkan tax sama cukai seperti apa sih kalau sistemnya diperbaiki. Saya akan perbaiki sekarang sampai dua triwulan ke depan, mungkin akhir triwulan pertama saya sudah lihat. Dari situ saya bisa ukur sebetulnya potensi saya berapa yang real, nanti kalau saya turunkan, kurangnya berapa, dampak pertumbuhan ekonominya berapa," ujarnya.
(fln/pta)