ANALISIS

Melihat Risiko Jika PPPK Dijadikan PNS, Besarkah?

Lidya Julita Sembiring | CNN Indonesia
Jumat, 21 Nov 2025 07:00 WIB
Sejumlah ekonom menilai wacana mengubah PPPK menjadi PNS bisa membebani APBN dan APBD dalam jangka panjang serta menghambat reformasi birokrasi.
Sejumlah ekonom menilai wacana mengubah PPPK menjadi PNS bisa membebani APBN dan APBD dalam jangka panjang serta menghambat reformasi birokrasi. (Antara Foto/Ampelsa).
Jakarta, CNN Indonesia --

Komisi II DPR RI berencana untuk mengubah status Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Wacana ini muncul seiring proses revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN.

Saat ini, revisi UU ASN tersebut sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Rini Widyantini menyampaikan segala kebijakan, termasuk wacana penyesuaian status PPPK menjadi PNS, harus berlandaskan aturan perundang-undangan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Menurut saya tentunya harus disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan. Jadi kalau misalnya (diterapkan penyesuaian status tersebut) tentunya harus mengikuti karena memang semuanya harus melalui proses seleksi," ujar Rini ditemui di kantornya, Selasa (18/11).

Lalu apakah ini langkah yang tepat dan adil? Sebab, proses rekrutmen hingga jenjang karier antara PPPK dengan PNS berbeda.

PNS berhak mendapatkan gaji, tunjangan, fasilitas, cuti, jaminan pensiun, jaminan hari tua, perlindungan, serta pengembangan kompetensi. Sementara itu, PPPK berhak memperoleh gaji, tunjangan, cuti, perlindungan, dan pengembangan kompetensi.

Masa kerja PNS sampai pensiun, yaitu 58 tahun untuk pejabat administrasi dan 60 tahun untuk pejabat pimpinan tinggi. Adapun masa kerja PPPK sesuai dengan surat perjanjian yang telah disepakati, umumnya paling singkat satu tahun dan dapat diperpanjang sesuai kebutuhan dan penilaian kerja.

Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P. Sasmita melihat kebijakan ini memang sangat menjanjikan dari sisi peningkatan status kepegawaian.

Meski demikian, pengubahan PPPK menjadi PNS sekaligus menimbulkan banyak pertanyaan mengenai dampaknya terhadap anggaran serta reformasi aparatur negara.

Menurut Ronny, sejak pertama kali diperkenalkan, skema PPPK sebenarnya dirancang sebagai kompromi. Negara mendapat akses terhadap tenaga profesional dengan kualitas tertentu, tapi tanpa menanggung beban fiskal permanen sebagaimana PNS.

Oleh sebab itu, PPPK selama ini menjadi instrumen fleksibel untuk memenuhi kebutuhan SDM (sumber daya manusia) di berbagai sektor pelayanan publik. Oleh sebab itu, ia menilai perubahan status PPPK menjadi PNS tidak bisa dilakukan secara gegabah.

"Secara prinsip, mengubah status PPPK menjadi PNS perlu dicermati dengan sangat hati-hati. Jadi kalau sekarang semua diarahkan menjadi PNS, jelas akan berpotensi menggerus disiplin fiskal," ujar Ronny kepada CNNIndonesia.com, Jumat (21/11).

Ronny menyebutkan status PNS akan memberikan konsekuensi keuangan yang jelas semakin berat. Sebab, status PNS membawa hak pensiun, tunjangan, serta berbagai fasilitas kepegawaian lain yang sifatnya jangka panjang.

"Jika konversi dilakukan besar-besaran, pemerintah harus siap menghadapi lonjakan belanja rutin di tahun-tahun mendatang," imbuhnya.

Selama ini, belanja pegawai dalam APBN termasuk komponen yang paling sulit ditekan. Oleh sebab itu, kenaikan belanja yang tidak direncanakan secara matang dapat menimbulkan tekanan anggaran baru, terutama saat ruang fiskal pemerintah belum longgar.

"Apalagi beban belanja pegawai di APBN sudah termasuk yang paling rigid. Tanpa perhitungan matang, justru negara bisa mengalami tekanan anggaran yang cukup berat," kata Ronny.

Ronny bahkan menilai ada potensi motif politik di balik kebijakan ini. Dengan jumlah PPPK yang besar, janji peningkatan status tentu memiliki daya tarik elektoral yang kuat.

"Jadi wajar jika publik mencurigai motif jangka pendek," tegasnya.

Meski demikian, jika kebijakan ini memang sebagai bagian dari reformasi ASN, ia menekankan perlunya penjelasan desain besar kebijakan tersebut. Mulai dari strategi peningkatan efektivitas, indikator kinerja, hingga pencegahan birokrasi yang makin gemuk.

"Apabila ini sebagai bagian reformasi PNS, maka harus dijelaskan desain besarnya. Bagaimana strateginya agar efektivitas bisa meningkat? apa indikator kinerjanya? bagaimana mencegah birokrasi makin gemuk? Jika tidak ada blueprint yang jelas, sulit menyebutnya sebagai reformasi," jelasnya.

Infografis 229 Ribu ASN Dialihkan Imbas Prabowo Pecah KementerianInfografis 229 Ribu ASN Dialihkan Imbas Prabowo Pecah Kementerian. (Basith Subastian/CNNIndonesia).

Apalagi, dari sisi kinerja, Ronny melihat status PNS tidak otomatis membuat aparatur negara lebih profesional. Kinerja birokrasi lebih ditentukan sistem merit, penilaian kinerja yang ketat, serta manajemen talenta yang transparan.

Ronny melihat, apabila status berubah, tetapi kultur kerja dan tata kelola tidak diperbaiki, hasilnya hanya penumpukan biaya tanpa peningkatan layanan publik.

"Jadi intinya, kebijakan ini hanya tepat kalau didukung desain reformasi birokrasi yang komprehensif dan perhitungan fiskal jangka panjang yang realistis. Tanpa itu, risiko yang muncul justru bisa dua sekaligus, yakni anggaran jebol dan kualitas pelayanan publik tetap stagnan," terangnya.

Pandangan serupa disampaikan Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet. Ia mengingatkan rencana konversi PPPK ke PNS membawa konsekuensi anggaran yang tidak sederhana. Semangat awal PPPK, menurutnya, adalah menciptakan fleksibilitas belanja pegawai.

"Jadi kalau sekarang semua diarahkan ke PNS, otomatis negara harus menanggung beban pensiun dan tunjangan lainnya yang sifatnya permanen. Dalam situasi belanja pegawai di APBN dan APBD yang sudah cukup besar, kenaikan beban seperti ini perlu dihitung secara cermat," kata Yusuf.

Yusuf menambahkan kemampuan negara dalam menanggung belanja tambahan dapat dilihat dari rasio pajak yang hingga kini masih belum menunjukkan perbaikan signifikan. Dengan ruang fiskal yang relatif stagnan, setiap keputusan penambahan beban struktur anggaran harus diperhitungkan dengan hati-hati.

"Apalagi kalau kebijakan konversi berlaku mulai tahun depan, pemerintah daerah akan berada dalam posisi paling rentan. Transfer ke daerah pada 2026 direncanakan turun, membuat ruang fiskal pemda semakin sempit. Untuk daerah dengan kapasitas fiskal rendah, beban tambahan kepegawaian hampir pasti membuat mereka harus mengalihkan anggaran dari pos lain," jelasnya.

Dari sisi politik, Yusuf juga melihat potensi aroma elektoral dalam kebijakan ini. Isu kepegawaian adalah isu sensitif yang menyentuh jutaan keluarga ASN maupun PPPK.

"Isu kepegawaian itu sensitif dan menyentuh jutaan orang sehingga menggoda untuk dijadikan komoditas politik," katanya.

Senda dengan Ronny, Yusuf juga menegaskan jika sungguh-sungguh ingin menjadikan kebijakan ini bagian dari reformasi birokrasi, harus ada desain yang jelas. Mulai dari mekanisme seleksi, standar kompetensi, hingga pembenahan sistem penggajian dan pensiun yang lebih adil dan berkelanjutan.

Tanpa syarat dan evaluasi yang ketat, konversi massal dinilai justru bisa merusak sistem merit yang menjadi fondasi utama profesionalisme ASN. Kebijakan yang terkesan otomatis dan tanpa filter hanya akan menurunkan insentif kerja dan menciptakan ketidakadilan.

Dampak terhadap kinerja birokrasi, menurut Yusuf, sangat bergantung pada eksekusinya. Jika perubahan status dilakukan tanpa penguatan kualitas SDM, produktivitas birokrasi hampir pasti tidak akan berubah.

"Tapi kalau ada mekanisme yang menjaga standar kompetensi, memberi kepastian karier, dan memperbaiki manajemen ASN, sebenarnya bisa saja jadi momentum perbaikan," tegasnya.

[Gambas:Video CNN]

(ldy/dhf)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER