Pemberi pinjaman (lender) PT Dana Syariah Indonesia (DSI) harus gigit jari karena layanan pinjaman online (pinjol) itu mengalami gagal bayar Rp1 triliun.
Mengacu unggahan Instagram @paguyubanlenderdsi, dana lender yang direkapitulasi per 18 November 2025 tembus Rp1.004.571.508.599. Uang sebanyak itu berasal dari 3.312 lender pinjol DSI.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah menjatuhkan sanksi berupa Pembatasan Kegiatan Usaha (PKU) kepada PT DSI sejak 15 Oktober 2025. Ini ditempuh wasit industri jasa keuangan tersebut agar perusahaan pinjol DSI fokus menyelesaikan kewajiban kepada para lender.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perencana Keuangan Finante Rahma Maryama melihat industri peer-to-peer (P2P) lending di Indonesia memang tumbuh sangat pesat belakangan ini.
Lihat Juga :EDUKASI KEUANGAN Tips Investasi Tanah di Tengah Sulitnya Gen-Z Beli Rumah |
Ia mengutip data OJK yang menunjukkan total outstanding pinjaman pada Januari 2025 mencapai Rp78,50 triliun, naik 29,94 persen secara tahunan.
Kemudian, meningkat ke Rp80,02 triliun pada Maret 2025 dan tembus Rp80,94 triliun di bulan berikutnya.
"Pertumbuhan yang masif ini menunjukkan besarnya kebutuhan pendanaan digital, tetapi sekaligus memperbesar risiko yang harus ditanggung lender," ucap Rahma kepada CNNIndonesia.com, Jumat (21/11).
"Data OJK pada pertengahan 2025 mengungkap bahwa 20 penyelenggara P2P lending memiliki TWP90 (kredit macet) di atas 5 persen alias berada di zona merah. Artinya, tidak semua platform sama kuat. Platform dengan TWP90 rendah belum tentu aman, sementara platform dengan TWP90 tinggi jelas berisiko besar bagi lender," sambungnya.
Lihat Juga : |
Rahma melihat masih banyak masyarakat Indonesia salah kaprah, yakni menganggap menjadi lender sama seperti menabung atau deposito dengan bunga lebih tinggi.
Padahal, lender adalah investor yang menanggung risiko penuh dan tak ada jaminan pengembalian modal.
Ia merinci setidaknya 6 poin utama yang harus diperhatikan sebelum Anda memutuskan untuk menjadi lender pinjol.
Pertama, pahami bahwa imbal hasil tinggi sama dengan risiko tinggi. Imbal hasil P2P lending di Indonesia berkisar 10 persen sampai 18 persen per tahun, jelas lebih besar dari deposito syariah (3 persen-5 persen) dan obligasi pemerintah (6 persen-7 persen).
Lihat Juga :EDUKASI KEUANGAN 4 Cara Menghindari Saham Gorengan di Tengah Sentilan Purbaya |
"Secara logika finansial, ketika imbal hasil tinggi, risiko pasti mengikuti. Jika seseorang menempatkan dana yang tidak siap hilang, maka potensi kerugiannya bisa besar," tegas Rahma.
Kedua, Rahma mewanti-wanti agar tak mendanai pinjol dengan dana darurat, dana pendidikan, atau dana rumah tangga. Ia menekankan P2P lending hanya cocok untuk dana investasi berisiko, bukan dana kebutuhan hidup.
Ketiga, diversifikasi. Investasi tidak boleh hanya ditempatkan pada P2P lending, tetap mesti disebar ke deposito, obligasi atau sukuk, saham atau reksadana saham, emas, serta properti sesuai kebutuhan.
Keempat, cek angka kredit macet atau TWP90, sebelum memutuskan ingin mendanai pinjol. Rahma mengatakan pengecekan juga harus dilakukan pada laporan keuangan perusahaan dan rekam jejak manajemen.
Lihat Juga :EDUKASI KEUANGAN Harga Emas Terus Melonjak, Bagaimana Cara Investasi yang Tepat? |
Kelima, membatasi porsi investasi P2P lending dari total portofolio. Ia mencontohkan investor pemula hanya boleh maksimal 5 persen, menengah 5 persen-10 persen, sedangkan investor berpengalaman bisa menyesuaikan asalkan tetap tidak 100 persen.
"Keenam, siapkan exit plan dan terima bahwa dana bisa hilang. P2P lending bukan instrumen yang bisa dicairkan sewaktu-waktu, pencairan bergantung pada peminjam dan platform. Lender harus siap skenario pembayaran terlambat, dana tidak kembali 100 persen, dana terhenti karena platform bermasalah, dan proses hukum berjalan lama," tandasnya.
Sementara itu, Head of Advisory & Financial Planner Finansialku Shierly menyoroti kondisi pelemahan daya beli dan perlambatan ekonomi di Indonesia. Ia menegaskan dua hal tersebut membuat likuiditas menjadi faktor penting dari sisi pemberi modal.
Shierly menyebut dirinya sama sekali tidak merekomendasikan orang-orang untuk menjadi lender atau pemberi pinjaman P2P lending dalam kondisi sekarang.
"Karena banyaknya perusahaan fintech yang ternyata menyalahgunakan dana dan manipulasi data borrower," tegas Shierly.
"Jika dalam situasi ini menempatkan dana di P2P lending atau crowdfunding, risiko gagal bayar dan risiko likuiditas jadi lebih tinggi. Enggak sebanding dengan potensi return," sambungnya.
Ia menilai penempatan dana untuk pinjol syariah maupun konvensional sama-sama tidak direkomendasikan. Terlebih, selama aturan dan pengawasannya belum dibenahi.
(sfr)