Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso memastikan anggaran untuk memusnahkan barang impor ilegal yang ditindak oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag) tidak menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Ia menegaskan kewajiban pembiayaan sepenuhnya berada di pihak importir yang melanggar aturan sesuai dengan sanksi yang dijatuhkan kepada mereka.
"Kita kenakan sanksi. Sanksinya perusahaan ditutup. Yang kedua memusnahkan barang importir. Jadi yang memusnahkan kemarin, ya biaya mereka (perusahaan importir)," ujar Budi di Kemendag, Jakarta Pusat, Jumat (12/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Budi menjelaskan seluruh proses pemusnahan barang impor ilegal yang berada dalam kewenangan Kemendag dilakukan setelah perusahaan melanggar ditutup dan diwajibkan memusnahkan barangnya sendiri.
Dengan mekanisme ini, pemerintah tidak mengeluarkan anggaran untuk kegiatan tersebut.
"Ya, kita sanksinya dikenakan seperti itu. Dia yang harus memusnahkan," katanya.
Budi menjelaskan kewajiban pembiayaan pemusnahan telah dijalankan oleh para importir yang ditindak. Dua perusahaan pelanggar telah ditutup, kemudian seluruh barang sitaan mereka dimusnahkan dengan biaya internal perusahaan.
Proses pemusnahan tersebut berlangsung bertahap dan ditargetkan selesai akhir November 2025. Dengan skema tersebut, biaya pemusnahan sepenuhnya berada di luar kas negara.
Terkait pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengenai biaya pemusnahan kontainer balpres ilegal yang disebut mencapai Rp12 juta, Budi menyebut angka tersebut merupakan bagian dari penanganan impor ilegal pada level border yang menjadi kewenangan Bea Cukai di bawah Kemenkeu.
Sementara itu, Kemendag bergerak pada level post-border, yaitu setelah barang masuk dan berada dalam peredaran domestik.
"Enggak, kalau yang di Pak Purbaya kan yang border ya. Saya enggak ngerti kan itu kebijakan sendiri (Kemenkeu). Kalau yang kami kan, yang kami tangkap itu yang post-border. Karena itu tupoksi kami," jelasnya.
Ia menambahkan bahwa penanganan di kedua level tersebut berada pada ranah kebijakan yang berbeda.
Pernyataan Purbaya mencuat setelah ia mengungkap rencana mengubah skema pemusnahan balpres impor ilegal karena selama ini justru menghabiskan anggaran negara.
Menurutnya, biaya mencapai Rp12 juta per kontainer menjadi beban bagi pemerintah, termasuk biaya penahanan pelaku.
Untuk mengatasi itu, Purbaya menggagas opsi pencacahan ulang balpres ilegal untuk kemudian dimanfaatkan sebagai bahan baku industri tekstil dan dijual sebagian kepada UMKM dengan harga murah.
Opsi tersebut, menurutnya, sudah mendapat persetujuan Presiden Prabowo Subianto dan melibatkan Asosiasi Garment dan Tekstil Indonesia (AGTI).
Ia mengatakan telah berkoordinasi dengan Menteri UMKM Maman Abdurrahman untuk memastikan distribusi bahan hasil pencacahan dapat dimanfaatkan pelaku usaha kecil.
(del/sfr)