Sementara itu, Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, memandang kebijakan PBPK sebagai bagian dari upaya besar pemerintah merapikan ekosistem pelaporan keuangan nasional. Menurutnya, tujuan utamanya adalah efisiensi, bukan menambah beban.
"Pemerintah ingin semua data keuangan perusahaan, baik besar maupun kecil, masuk lewat satu pintu, supaya prosesnya lebih efisien, standar pelaporannya sama, dan kualitas datanya bisa lebih dipercaya untuk penyusunan kebijakan," kata Yusuf.
"Jadi tujuan utamanya bukan menambah beban, tetapi mengurangi duplikasi laporan yang selama ini harus dikirim ke OJK, BPS, DJP, atau kementerian lain," imbuhnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga : |
Ia menegaskan, pelaporan keuangan perusahaan sebenarnya sudah mengikuti standar yang baik, terutama perusahaan besar yang telah menerapkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) dan audit ketat.
Masalah utamanya tetap pada sistem nasional yang kurang terintegrasi, sehingga data sering tidak sinkron dan tidak optimal digunakan pemerintah.
Dengan pembenahan PBPK, Yusuf melihat peluang peningkatan konsistensi data sekaligus penutupan celah fraud yang selama ini menjadi sorotan.
"Di titik itu, kebutuhan untuk menata ulang memang ada, terutama untuk meningkatkan konsistensi dan menutup celah fraud yang selama ini beberapa kali disorot oleh lembaga pemeriksa," terangnya.
Dari sisi manfaat, ia menilai sistem terpusat dapat meningkatkan transparansi, memperkuat kepercayaan investor, mempercepat proses audit, hingga menurunkan biaya administrasi perusahaan. Perusahaan tidak lagi harus mengirim laporan ke banyak instansi seperti sebelumnya.
Jika implementasinya rapi, Yusuf menilai PBPK dapat mendukung pertumbuhan ekonomi melalui efisiensi dan penyediaan data akurat bagi pemerintah untuk merancang kebijakan fiskal dan insentif.
"Negara-negara seperti Singapura sudah melakukan hal serupa dan terbukti manfaatnya cukup besar bagi iklim usaha," katanya.
Namun, Yusuf mengingatkan tidak semua perusahaan memiliki kesiapan yang sama. Perusahaan kecil dan menengah bisa menghadapi beban adaptasi teknologi serta kekurangan sumber daya manusia untuk memenuhi standar baru.
Kekhawatiran lain muncul terkait potensi kontrol negara yang terlalu kuat terhadap sektor swasta akibat terkonsentrasinya data keuangan di Kemenkeu.
Menurut Yusuf, risiko overreach sangat mungkin terjadi tanpa mekanisme pengawasan independen.
Meski begitu, ia menilai manfaat PBPK tetap signifikan jika aspek governance diperkuat. Tanpa pengawasan dan pembatasan yang jelas, kebijakan yang awalnya bertujuan efisiensi bisa berubah menjadi instrumen kontrol negara.
"Dengan kata lain, manfaatnya ada, tapi risiko overreach juga realistis kalau tidak ada mekanisme pengawasan independen," pungkas Yusuf.
(sfr)