Ikatan Apoteker Ungkap Biang Kerok Obat Kosong dan Mahal di Indonesia

CNN Indonesia
Rabu, 26 Nov 2025 14:15 WIB
Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) membeberkan penyebab obat kosong dan mahal di Indonesia. Ilustrasi. (CNN Indonesia /Andry Novelino).
Jakarta, CNN Indonesia --

Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) membeberkan penyebab obat kosong dan mahal di Indonesia.

"Saya rasa di sini Kementerian Kesehatan hampir setiap hari mendapat keluhan, obatnya kosong terus. Benarkah obatnya kosong?" kata Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat IAI Audrey Clarissa dalam Rapat Panja Jaminan Kesehatan Nasional dengan Komisi IX DPR RI di Jakarta Pusat, Rabu (26/11).

Audrey menjelaskan ada lima aspek terkait obat di Indonesia, yakni harga, kualitas, kuantitas, waktu, dan tempat.

IAI menilai obat-obat tersebut mungkin saja tersedia, tapi terkendala masalah lain di lapangan.

Ia kemudian membedah 7 faktor yang menyebabkan kekosongan obat di Indonesia. Bahkan, hal tersebut menjadi biang kerok obat mahal.

Pertama, rencana kebutuhan obat (RKO) yang tidak akurat. Audrey menjelaskan semua data kebutuhan obat dari Dinas Kesehatan di daerah sampai Rumah Sakit (RS) harusnya bisa diakses real time agar sesuai dengan yang disiapkan industri farmasi.

Masalah kedua adalah sistem e-katalog yang tidak optimal. Ia mencontohkan biasanya pemenang tender adalah mereka yang menawarkan harga paling rendah, tapi ternyata obat tersebut justru belum tentu dibeli.

"Karena siapa pun yang ada di daerah, perusahaan farmasi mana pun yang bukan pemenang, boleh menjual obat dan boleh dibeli oleh RS atau satker (satuan kerja) BPJS untuk menggunakan produk tersebut. Catatannya, harga harus sama, bahkan lebih murah," ungkap Audrey.

Ketiga, Audrey menegaskan sistem pembayaran yang bermasalah dan tidak tepat waktu. Ia menyebut beberapa distributor bahkan sempat dipanggil RS besar yang mengaku tidak bisa membayar pembelian obat.

Kekosongan obat itu terjadi karena pembayaran yang tidak tepat waktu. IAI menekankan pembayaran yang bermasalah membuat suplai obat ke fasilitas kesehatan otomatis terganggu.

Keempat, tidak tersedianya data real time. IAI menegaskan faktor ini diperlukan bukan hanya terkait rencana kebutuhan obat, melainkan untuk analisa penyakit yang terjadi di masyarakat.

Kelima, peraturan yang semakin tinggi. Audrey menyebut cara pembuatan obat yang baik menuntut banyak hal lebih tinggi, pemeriksaan lebih banyak, dan peningkatan biaya.

Keenam, IAI menyoroti isu tingkat komponen dalam negeri (TKDN) yang membuat harga obat semakin mahal. Audrey mengatakan masalah lonjakan harga ini terjadi karena volume perusahaan farmasi dalam negeri belum cukup bersaing.

"Sehingga harganya kurang bersaing kalau dibandingkan dari negara lain, seperti China atau India. Apakah kualitasnya bagus? Kualitasnya baik, tapi sayangnya volume gak masuk sehingga harganya masih tinggi. Ketika kita gunakan, harga obatnya menjadi lebih mahal," keluh IAI.

"Secara aturan di undang-undang, kalau misal TKDN tinggi, maka harus digunakan. Tapi kenyataannya sekarang semua tetap mencari yang lebih murah dengan alasan tidak mau merugikan negara. Sehingga perusahaan dalam negeri ini kemudian tidak bersaing," jelas Audrey.

Ketujuh, Audrey menjelaskan ada masalah dari jumlah sumber daya manusia (SDM). Ia menjelaskan masih ada 2.438 Puskesmas dari 10.212 Puskesmas yang belum memiliki tenaga apoteker.

Berikut usul IAI agar tidak terjadi masalah obat kosong dan obat mahal:

1. Perbaikan akurasi RKO
2. Perbaikan pengaturan sistem penyedia pada e-katalog
3. Real time tracking
4. Pengaturan risiko, termasuk pengendalian harga
5. Peraturan yang tidak dua kaki
6. SDM yang kompeten dan mumpuni

(skt/sfr)
KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK