Jakarta, CNN Indonesia -- Perayaan pernikahan di Iran sudah sejak lama dikenal sebagai acara keluarga yang bisa diselenggarakan dengan besar-besaran. Sebuah keluarga bahkan bisa menghabiskan uang hingga ribuan dolar untuk merayakan penyatuan dua keluarga itu. Namun kini seperti diberitakan
Reuters ada tren baru di Iran. Yakni perayaan besar-besaran yang diselenggarakan oleh pasangan suami istri yang hendak bercerai. Ya, namanya tentu saja disebut : pesta perceraian.
Sejumlah media dan blog lokal beberapa bulan terakhir diramaikan oleh berita sejenis. Tentang pesta mewah lengkap dengan undangan yang sarkastik, kue perceraian yang penuh humor, untuk merayakan pasangan yang memutuskan untuk berpisah. Fenomena ini sedang menghangat di Tehran dan beberapa kota besar lain. Para pemuka agama juga tak tinggal diam dan menyebut pesta-pesta semacam ini adalah aliran setan.
Tetap saja pesta perceraian ini menjadi tanda suatu fenomena yang tak bisa disanggah : tingkat perceraian di Iran sedang meningkat. Sejak tahun 2006, angka perceraian telah meningkat lebih dari satu setengah kali. Ini berarti 20 persen dari perkawinan di negeri itu telah berakhir pada perceraian.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam dua bulan pertama kalendar tahunan Iran (yakni yang berlangsung sekitar akhir Maret hingga akhir Mei) saja, lebih dari 21 ribu kasus perceraian didaftarkan berdasarkan data statistik resmi negara itu.
Peningkatan jumlah pasangan yang memilih untuk berpisah telah membuat marah kaum konservatif di Iran. Mereka melihat peningkatan angka perceraian ini sebagai tantangan terhadap nilai-nilai dalam negara Republik Islam itu. Bulan lalu. Mustafa Pour Mohammadi, yang menjabat sebagai menteri keadilan sekaligus seorang pemuka agama, mengatakan adanya 14 juta kasus perceraian di pengadilan-pengadilan “tidak cocok dengan sistem yang Islami,” demikian seperti dikutip Iranian Students News Agency.
Beberapa kasus perceraian di Iran, seperti di negara lain, termasuk masalah ekonomi, perselingkuhan, kecanduan obat terlarang dan kekerasan. Namun peningkatan jumlah perceraian di Iran diduga karena juga ada perubahan fundamental dalam sistem sosial di negara tersebut. “Ada pertumbuhan besar dalam hal individualisme di Iran, terutama di kalangan perempuan. Perempuan lebih terdidik dan berdaya secara finansial,” kata Hamid Reza Jalaipour, sosiolog di Tehran University.
“Biasanya perempuan akan menikah dan menurut saja. Kini jika mereka tak bahagia, mereka akan mengajukan perceraian. Ini bukan lagi hal tabu,” kata Jalaipour.
Pesta perceraian Seorang perempuan berusia 41 tahun, sarjana bidang kimia yang kini menjadi kepala hubungan masyarakat di sebuah perusahaan di Tehran mengatakan dia menceraikan suaminya karena masalah kecanduan obat terlarang. Perempuan yang sudah punya anak perempuan usia remaja itu mengatakan perlu waktu empat tahun untuk menyelesaikannya dengan birokrasi pemerintah. “Mereka tak suka jika perceraian diajukan oleh pihak perempuan,” katanya pada Reuters, sembari meminta namanya tidak disebutkan.
“Namun sejak bercerai, saya serasa hidup di surga,” katanya menegaskan.
Selama dia masih dalam ikatan pernikahan, perempuan itu dilarang oleh salah seorang bibinya bahkan untuk mencuci piring, karena takut bunyi mesin akan membuat dia sakit kepala. “Saya bilang kalau gitu peduli amat, mengapa dia tak bangun saja dari tidurnya dan mencuci piring sendiri?”
Perempuan itu mengatakan tak pernah hadir di pesta-pesta perceraian yang mewah di Tehran, tapi menambahkan. “Hari ketika perceraianku diputuskan, saya mengundang beberapa teman untuk merayakannya juga.”
Hukum perkawinan di Iran secara tradisional menguntungkan para suami. Mereka punya hak untuk mengajukan perceraian. Tapi sebagian besar kasus yang masuk ke pengadilan saat ini, suami dan istri secara umum punya kesepakatan bersama untuk berpisah, kata seorang pengacara Iran. Dalam kasus dimana suami tak ingin bercerai, jika ingin bercerai istri harus secara legal menyatakan suaminya melakukan kekerasan, memiliki masalah psikologis atau tak bisa menanggung tanggung jawab dalam pernikahan.
Koin Emas Alternatifnya, seorang istri bisa mengembalikan
mehrieh atau mahar saat mereka menikah. Mahar di iran biasanya berupa koin emas, yang harganya terus melambung tahun-tahun terakhir hingga para keluarga harus membayar hingga puluhan ribu dolar. Dalam sejumlah kasus, suami bisa masuk penjara jika tidak membayar maharnya.
“Dua tahun terakhir, masalah perceraian di Iran telah mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya,” kata Mohsen Mohammadi, kepala kantor hukum Yasa di Tehran.
“Kami bahkan tak punya ketertarikan dalam keluarga atau hukum perceraian. Namun karena tingginya jumlah permintaan, membuat kami sulit untuk tidak terlibat. Sisi legal dalam keluarga dan perceraian jadi bisnis besar di Iran.”
Namun bukan berarti pesta perceraianlah yang menyebabkan meningkatnya jumlah perceraian. Namun jumlah perempuan dengan pendidikan tinggi dan kehadiran mereka di dunia kerja yang membuat banyak perubahan, kata para ahli. Saat ini pada tahun ajaran baru lalu 60 persen yang mendaftar ke universitas adalah perempuan, seperti dikutip dari
Islamic Republic News Agency. Ketika para wanita ini lulus kuliah, prioritas mereka tak lagi menikah karena kini mereka bisa mencari pekerjaan. Jika mereka kemudian menikah, akan lebih mudah bagi mereka untuk pergi dari pernikahan yang bermasalah karena kini mereka bisa menyokong diri mereka sendiri dalam hal keuangan, kata para ahli.
Ini tak hanya terjadi di kalangan atas masyarakat Iran. “Kita tak sedang berbicara tentang kalangan menengah atas saja atau kaum elit di Utara Tehran, ini bukan soal pengaruh Barat menyusup dan membuat perceraian jadi hal biasa,” kata Kevan Harris, sosialog dan direktur di Princeton University's Center for Iran and Persian Gulf Studies.
“Ini karena terjadi perubahan internal dalam masyarakat. Kita menyeimbangkan kekuatan para wanita dengan pengalaman yang mereka miliki. Karena jika tidak jumlahnya tak akan sebegini besar. Jika ini tak hanya terjadi di kelompok masyarakat atas angkanya tak akan sebegini besar.”
Peningkatan jumlah perceraian membuat pemerintah khawatir, karena nantinya akan berpengaruh pula pada angka kelahiran. Tahun lalu salah satu komite di parlemen yang menangani hubungan sosial mengajukan dana $1,1 triliun untuk memfasilitasi perkawinan, namun proposal itu tidak dikabulkan parlemen. “Jika anggota parlemen dan pemerintah punya simpati pada kaum muda di negara ini, akan lebih baik jika mereka mengabulkan saja proposal itu,” kata kepala komite, Abdul Reza Azizi kepada
Mehr News.Sebuah proporsal yang lebih kontroversial dibuat oleh Menteri Perkawinan dan Perceraian. Proposal itu banyak dikritik secara mendasar bahwa kementerian yan baru malah membuat birokrasi baru untuk perceraian dan bukan menangangi isu yang sedang meningkat trennya itu.
Apapun yang dilakukan pemerintah, akan sulit untuk mengubah toleransi baru akan perceraian.
“Bukan karena ada seseorang yang mengatakan, ‘Tolong saya ingin bercerai’ lantas Anda meyakinkan masyarakat konservatif bahwa perceraian itu oke-oke saja. Bukan demikian cara kerjanya,” kata Harris. “Orang memang harus menjalani perceraian ini. Dan di sisi lain putusan ceraitak bisa ditarik kembali.”