Jakarta, CNN Indonesia -- Menjelang Halloween, berbagai pusat perbelanjaan dan kafe berlomba-lomba menampilkan dekorasi serta menu khusus khas Halloween. Oleh karena itu, Halloween di Indonesia lebih dilihat sebagai bisnis dibandingkan budaya.
Sementara di negara asalnya, Irlandia, Halloween merupakan bagian dari budaya setempat. Tradisi yang sudah mengakar sejak lama, dan rutin dirayakan setiap tahunnya oleh kelompok tertentu.
Demikian disampaikan sosiolog Paulus Wirutomo yang berprofesi sebagai dosen sosiologi Universitas Indonesia. Dari aspek bisnis, menurutnya, Halloween menguntungkan berbagai pihak yang mencari uang dengan mengusung tema ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Apalagi, banyak orang Indonesia suka horor," kata Paulus saat diwawancarai CNN Indonesia melalui telepon, Kamis (30/10). Menurutntya, hal serupa juga terlihat dari perayaan Natal dan Lebaran.
Ia berpendapat posisi Halloween di Indonesia adalah hiburan semata. Dalam istilah antropologi, disebut "cultural borrowing" atau meminjam budaya.
"Mungkin karena dianggap menarik, maka sebagian orang ikut-ikutan merayakan. Tetapi, masih jauh kalau mau sebut Halloween mulai membudaya di Indonesia," katanya.
Agar dapat disebut sebagai budaya, Paulus berpendapat harus ada internalisasi. Artinya, budaya tersebut sudah mendarah daging dan memengaruhi kepribadian seseorang.
"Dalam kasus Halloween, masyarakat Indonesia masih belum melihatnya sebagai kewajiban. Kalau mau merayakan, silakan. Kalau tidak, juga tak masalah," tuturnya.
Selain itu, patokan lainnya agar bisa disebut budaya adalah adanya sistem nilai. Budaya digunakan untuk menilai apakah sesuatu benar atau salah, baik atau buruk, bahkan hingga cantik atau jelek.
Ia mencontohkan standar cantik di suatu tempat belum tentu sama dengan tempat lainnya. Itulah yang disebut sebagai sistem nilai. "Orang Indonesia belum melihat Halloween sebagai sistem nilai, apalagi sebagai sesuatu yang sakral. Belum sejauh itu," katanya.
Namun Paulus mengatakan, tidak menutup kemungkinan bila suatu saat Halloween membudaya di Indonesia. Ia memberi contoh budaya impor Valentine dan punk yang kini telah menjadi subkultur di Indonesia.
"Disebut subkultur karena ritualnya hanya dilakukan oleh kelompok yang sangat khusus," kata Paulus.
Pada Valentine, misalnya, ada hal mengikat bagi orang yang merayakannya, di mana sebagian besar adalah kaum muda. Tema kasih sayang yang diusung lebih universal daripada Halloween.
“Ketika seseorang memberikan sesuatu saat Valentine, artinya akan berbeda dengan memberikannya pada hari lain. Begitu pula bila tidak memberikan sesuatu, mungkin akan memberikan arti berbeda pula," ujarnya.
Sementara dalam kasus punk, anggotanya punya cara hidup sendiri yang sangat filosofis. Ikatan di antara anggotanya kuat. Simbol-simbol punk pun sangat kuat dan punya arti tersendiri. Sementara Halloween, diyakini Paulus, masih jauh untuk bisa begitu.