Jakarta, CNN Indonesia -- Fesyen merupakan industri yang terlihat glamor dari luar. Tetapi sebenarnya, ada kerja keras yang berdarah-darah di baliknya. Modal besar sudah diperlukan ketika mengenyam pendidikan di sekolah fesyen.
"Biaya sekolah fesyen memang tinggi sekali. Misalnya, di ESMOD per tahunnya setidaknya butuh Rp 85 juta. Itu belum termasuk biaya praktik," kata Marketing and Event Manager ESMOD, Maria Tinche kepada CNN Indonesia di Jakarta Fashion Week, Senayan City. "Kalau mau jadi desainer, memang harus berbakat, punya niat, serta berkantong tebal."
Lulus dari sekolah fesyen hanyalah awal dari kehidupan seorang desainer. Beberapa di antara mereka meniti karier dengan bekerja sebagai desainer untuk label orang lain, ada pula yang nekat untuk membangun labelnya sendiri. Modal besar jadi tantangan tersendiri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain modal, ada banyak tantangan yang menanti pada desainer muda yang ingin sukses berkiprah di dunia fesyen tanah air, dan dunia.
1. Jangan buru-Buru prioritaskan keuntungan Imelda Kartini adalah satu dari banyak desainer yang kukuh mendirikan label sendiri setelah lulus. Usai lulus pada pertengahan 2007, ia kemudian membuat labelnya sendiri pada akhir tahun 2007. Keuntungan belum jadi target Imelda kala itu.
"Waktu itu saya hanya memikirkan bagaimana caranya supaya klien puas. Harganya juga sangat terjangkau. Pokoknya kasih yang terbaik," kata Imelda. Pemasaran dari mulut ke mulut menurutnya paling efektif.
Usahanya juga tidak selalu berjalan mulus. Berbagai kendala dan masalah teknis menjadi kerikil dalam menjalankan bisnisnya. "Masalahnya lebih banyak soal produksi. Misalnya, salah jahit atau salah teknik," kata Imelda mengenang masa lalu. Setelah berkutat dengan
first line-nya, akhirnya pada tahun lalu ia mengeluarkan
second line berupa
ready to wear dengan label Imelda Kartini.
"Meski
ready to wear, karya saya tidak diproduksi secara massal. Sekali produksi hanya ada empat potong yang terdiri dari ukuran S, M, L, dan XL," kata desainer yang berfokus pada
cocktail dress ini.
Imelda mengatakan ingin membuat karya yang terbatas tetapi terjangkau. "Supaya menghindari kejadian 'pakai baju yang sama' di suatu acara," ujarnya kemudian tersenyum. Rancangannya kini berhasil masuk ke berbagai
department store di mal-mal kawasan Jakarta.
2. Harus berprestasiPrestasi juga sangat dibutuhkan seorang oleh desainer agar namanya mudah dikenal masyarakat. Albert Yanuar, misalnya, ia rajin mengikuti berbagai lomba untuk mengasah kreativitas dalam berkarya dan mencari prestasi. Ia pernah mengikuti Lomba Perancang Mode (LPM), sayangnya hanya sampai tahap sepuluh besar. Namun, ia tak bosan dan terus ikut kompetisi itu hingga akhirnya berhasil meraih juara satu kategori Entrepreneur Award.
Kesempatan demi kesempatan ia dapatkan, salah satunya adalah beasiswa ke Milan karena prestasinya di LPM. "Saya akui, kadang rasanya lelah sekali. Tetapi begitu koleksinya selesai, rasanya senang sekali," kata Albert kemudian tersenyum. Sudah sembilan tahun lamanya ia berkiprah sebagai desainer. "Saya sering banget gagal," ujarnya.
Menurut Albert, sekolah fesyen turut memengaruhi keberhasilan seorang desainer. "Pendidikan itu mungkin bobotnya 40 persen bagi keberhasilan desainer. Namun, tidak semua alumni sekolah fesyen sukses. Di angkatan saya, mungkin hanya 10-15 persen yang sampai sekarang masih eksis di dunia fesyen," kata Albert yang lulus dari ESMOD pada 2003 ini.
3. Punya karakterSeorang desainer harus memiliki ciri khas yang tidak dimiliki orang lain. Menurut Albert, dengan adanya ciri khas, sebuah label tidak akan mati walaupun konsepnya dicontek orang lain dan dijual dengan harga lebih murah. "Tetap jaga kualitas dan harus punya banyak koneksi ke media," kata desainer yang berfokus pada busana gaun ini.
Saran senada juga ditambahkan oleh desainer senior, Ari Seputra. Ari, desainer sekaligus direktur kreatif menambahkan bahwa desainer muda harus tetap mempertahankan idealisme dan juga sentuhan gaya pribadinya. "Boleh pertahankan idealisme gaya, tapi juga harus sesuaikan dengan selera masyarakat. Desainer muda juga harus konsisten dan
open minded dengan perkembangan fesyen," kata Ari kepada CNN Indonesia.
4. Konsisten dengan karyaAri Seputra menambahkan, konsistensi rancangan adalah salah satu kunci sukses menembus dunia fesyen tanah air dan dunia. Bagi desainer yang sudah sukses memasarkan koleksinya di beberapa negara di dunia ini, konsistensi rancangan akan membuat Anda dilirik pembeli. Hanya saja, konsistensi yang dimaksud Ari adalah konsistensi untuk mempertahankan ciri khas yang sesuai dengan selera pasar dan
wearable."Untuk bisa masuk ke dalam
log book di Paris Fashion Week itu susah sekali. Desainer dituntut untuk bisa menunjukkan koleksi-koleksinya secara konsisten bagus selama minimal lima season," ujarnya.
"
Buyer luar negeri itu inginnya lihat dulu konsistensi karya baru membeli. Mereka juga tidak mau rugi kalau belum tahu desainernya bisa ciptakan koleksi dengan konsisten atau tidak."
5. Curi perhatian lewat pergelaran busanaPergelaran busana bukan sekadar memamerkan koleksi terbaru sang desainer, tetapi juga ajang berbisnis. "Banyak terjadi transaksi setelah
fashion show. Untungnya pasti ada dari situ," kata Albert Yanuar.
Namun, biayanya juga tak murah. "Untungnya, saya selalu dapat sponsor untuk biaya
fashion show. Tetapi kalau untuk koleksinya sendiri biayanya bisa hampir Rp 200 juta," kata Albert. "Penjualannya naik 200-300 persen setelah fashion show.”
Menurut dia, prestasi-prestasi yang didapatkannya di dunia mode, akan sangat membantu untuk mendapatkan sponsor. Beberapa pergelaran busana luar negeri pernah disambanginya adalah Hong Kong Fashion Week dan Seoul Fashion Week.
6. Simbiosis mutualisme dengan selebritiPara desainer juga bisa melakukan strategi lain seperti mensponsori gaun para selebriti. Dengan begitu, kedua pihak sama-sama diuntungkan. Selebriti bisa meminjam secara gratis gaun tersebut, sementara desainer bisa terkenal karena pengaruh selebriti tersebut. Diakui oleh Tex Saverio, memang ada beberapa desainer yang hanya meminjam gaun ciptaannya, meski ada pula yang memang berniat membeli.
Tex bercerita penjualannya mengalami kenaikan setelah gaunnya dikenakan oleh Lady Gaga. Namun, tidak terlalu signifikan karena saat itu ia belum mengeluarkan koleksi ready to wear. "Yang pasti, setelah dipakai Lady Gaga, efeknya itu lebih ke branding," kata Tex kepada CNN Indonesia.
Namun menurut dia, para desainer harus lebih cermat dalam memilih selebriti untuk hubungan simbiosis mutualisme tersebut. "Harus lebih spesifik menentukan target pasarnya. Lalu baru dilihat siapa selebriti yang mengenakannya dan dipakainya di mana," kata Tex.
7. Buat koleksi siap pakaiKoleksi
ready to wear juga perlu untuk menjangkau pasar yang lebih global. "Sudah saatnya Indonesia membawa labelnya sendiri ke luar negeri. Harus ada label Indonesia yang bisa bersaing dengan label luar negeri," kata Tex yang telah meluncurkan koleksi
ready to wear di bawah label Tex Saverio Jakarta ini.
Pembelinya banyak berasal dari Timur Tengah, Rusia, dan Asia. "Kami sedang berusaha menjangkau pasar Eropa Timur," kata Tex.
Ari Seputra, juga menyarankan hal yang sama. Pembuatan label lain yang siap pakai dikatakannya bisa mendongkrak penjualan. "Semua itu ujung-ujungnya uang. Makanya idealisme harus disesuaikan, kalau perlu buat desain
ready to wear,"sarannya.