Jakarta, CNN Indonesia -- Anestesi alias pembiusan adalah langkah awal yang wajib dilakukan sebelum seseorang menjalani prosedur pembedahan.
Sayangnya sering kali pasien keburu fokus pada bagaimana prosedur pembedahannya sehingga mungkin kurang memperhatikan proses anastesi yang dilakukan.
Padahal dalam ilmu kedokteran anastesi adalah spesialisasi yang berdiri sendiri dan membutuhkan keahlian tersendiri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam kasus dua pasien RS Siloam Karawaci, keduanya diketahui melakukan operasi untuk caesar dan kandung kemih. Dari dua jenis pembedahan ini dipastikan keduanya hanya mendapatkan anestesi lokal.
“Jadi anestesi ada dua, ada yang total dan lokal. Untuk yang lokal jika pembedahan dilakukan di organ bawah pusar maka anastesi dilakukan melalui spinal atau epidural,” kata Prof. dr. Ruswan Dahlan, SpAn(K), ahli anestesi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo saat dihubungi CNN Indonesia.
Ruswan menambahkan, spinal atau epidural sama-sama pembiusan yang bertujuan memblok saraf tulang belakang. Karenanya keduanya dimasukkan melalui ruas tulang belakang dengan posisi pasien membungkuk dan memeluk lutut.
Adapun mengenai obat anestesi Buvanest Spinal yang diduga digunakan dalam kasus RS Siloam Karawaci disebut Ruswan memang digunakan untuk tujuan ini. Buvanest Spinal dikenal dengan nama generik Bupivacaine.
“Selain untuk operasi caesar dan kandung kemih, (Buvanest Spinal) bisa juga digunakan misalnya untuk operasi usus buntu, patah tulang kaki dan semua yang berada dibawah pusar,” kata Ruswan.
Menurut literatur, pada pembiusan spinal obat disuntikkan melalui rongga tempat saraf tulang belakang. Sementara pada epidural obat bius dimasukkan ke ruangan hampa sebelum saraf tulang belakang.
Obat anestesi semacam Buvanest Spinal memang bertujuan memblok saraf bagian tubuh bawah, biasanya pasien akan merasakan kaki seperti terasa kesemutan hingga akhirnya tidak terasa sama sekali dan tekanan darah turun. “Hilangnya rasa akibat pembiusan ini biasanya berlangsung selama 4-5 jam,” kata Ruswan.
“Bupivacaine biasanya tak akan diberikan pada pasien dengan riwayat medis seperti kelainan pembekuan darah, shock berat, dan pasien dengan alergi tertentu,” ujar Ruswan menjelaskan.
Namun semua kontraindikasi itu tentu saja bisa diselidiki sebelum prosedur pembiusan dan pembedahan dilakukan.
“Tentunya dokter juga harus menjelaskan apa saja yang akan dialami pasien di ruang bedah,” kata Ruswan.
Tak hanya mendapatkan penjelasan dokter pasien dan keluarga pasien juga punya hak untuk banyak bertanya tentang prosedur pembiusan dan pembedahan yang akan dilakukan.
Sebelumnya, dua pasien di RS Siloam Karawaci meninggal karena diduga adanya kesalahan penggunaan obat anestesi. Diduga ada kesalahan penempelan label obat pada Buvanest Spinal dan Asam Tranexamat. Obat Buvanest Spinal yang disuntikkan seharusnya berisi Bupivacaine 0,5 persen, namun ternyata berisi Asam Tranexamat. Keduanya sama-sama merupakan obat injeksi dengan kemasan berupa ampul atau vial.
Buvanest merupakan injeksi anestesi yang mengandung Bupivacaine 5 mg/mL, sedangkan Asam Tranexamat merupakan obat untuk mengatasi perdarahan.
"Obat apapun bukan hanya pengental darah akan terjadi masalah bila diberikan ke dalam sistem saraf pusat," tutur dokter spesialis anestesi dari RSU Soedono, Madiun, dr Mirza Koeshardiandi, SpAn, seperti dilansir dari laman detikHealth.
Ia menambahkan, meskipun masih belum bisa disimpulkan terkait dugaan isi tertukar tersebut, namun seandainya itu benar adalah obat pengental darah yang bersifat asam maka pemberian obat tersebut pada pasien akan menyebabkan kerusakan sistem saraf.
(utw/mer)