Jalan Terjal Menuju Perjamuan Kental di Golo Wangkung

Windratie | CNN Indonesia
Selasa, 24 Mar 2015 16:50 WIB
Kami bertiga melintas di jalanan yang sempit dan rusak. Sisi kiri dan kanan jalan menuju ke Golo Wangkung ini adalah lembah terjal.
Deretan bukit dan lembah curam yang menemani perjalanan menuju Golo Wangkung, kelurahan di Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur. (CNN Indonesia/Windratie)
Manggarai Timur, CNN Indonesia -- Kami bertiga melintas di jalanan yang sempit dan rusak. Sisi kiri dan kanan jalan menuju ke Golo Wangkung ini adalah lembah terjal. Tertutup oleh semak belukar yang tumbuh subur. Kami jadi sulit mengetahui apa ada mobil yang sedang menuju ke arah kami.

Di sebelah saya, Rinus tak pernah jeda memencet klakson mobil dalam-dalam. Tubuhnya dicondongkan ke depan, menatap dengan konsentrasi tinggi ke arah jalan. Dalam mengukur derajat kelokan jalan, hitungannya sangat presisi.

Bahkan, ketika beradu jalan dengan truk besar di jalanan maut itu. Entah apa yang terjadi jika bukan Rinus, pemuda dari desa Cancar ini yang pegang kemudi? Dia hafal mati setiap kelokan di pelosok kabupaten Manggarai Timur ini.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kami sedang dalam perjalanan menuju Golo Wangkung, kelurahan yang terdapat di Kecamatan Sambi Rampas, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur. Kelurahan ini berkembang pesat. Mekar menjadi tiga kelurahan, kemudian disepakai sebagai Golo Wangkung Raya.

Di sana, anak-anak Golo Wangkung yang tergabung dalam Komunitas Kreatif, program pemberdayaan dari Yayasan Kelola, akan menampilkan karya video partisipatif.

“Kamu pernah menempuh perjalanan seperti ini sebelumnya?” tanya Ramses, fasilitator Yayasan Kelola. duduk di belakang kami. Sudah Hampir dua jam perjalanan kami tempuh dari Ruteng, kecamatan yang merupakan ibukota Manggarai, menuju kelurahan Golo Wangkung.

“Ini belum dimulai,” lanjutnya singkatnya. “Masih ada dua kali pertigaan lagi yang harus kita lewati,” sela Rinus santai. “Ya, dua kali perjalanan seperti yang baru saja kita lewati,” ucap Ramses, bertubi-tubi.

Tak lama, turun hujan. Lintasan tanah itu tertutup kabut. Jarak pandang dengan lampu sorot mobil tak lebih dari lima meter. “Kita berada di balik bukit yang di siang hari pemandangannya indah sekali,” kata Ramses.

Akses jalan menuju Golo Wangkung sebagian kecil memang rusak, banyak tanjakan, serta tikungan tajam. Jarak dari pusat pemerintahan dan niaga sangat jauh. Jarak dari Borong, ibukota kabupaten, yaitu sekitar 90 kilometer, butuh waktu dua sampai tiga jam ke sana.

Sementara dari Ruteng ibukota kabupaten, Manggarai, sekitar 80 kilometer, waktu tempuh sekitar dua sampai tiga jam. Warga Golo Wangkung yang ingin ke luar biasanya memakai angkot berupa bus kayu, truk dengan bak penumpang. Jika ingin menuju terminal Ruteng, duit seharga Rp 60 ribu harus disiapkan untuk ongkos pulang-pergi.

Bolak-balik telepon genggam Ramses berbunyi. Sepertinya, orang di ujung telepon menanyakan, sudah di mana sekarang?

Ada kesan, pestanya segera dimulai. Namun, orang yang ditunggu belum muncul-muncul. Rinus mulai mengemudi dengan pelan. Mengincar-incar lokasi yang dicari di tempat gelap-gulita itu. Sementara saya, masih belum percaya akan ada orang ramai di tempat tersebut.

Sambutan dan perjamuan hangat

Mobil belok ke kanan, langsung parkir di pinggir sebuah lapangan. Masih di dalam mobil, dari jauh saya lihat kerumunan di bawah terpal. Banyak sekali anak-anak dan orang tua. Ratusan pasang mata spontan menoleh ke arah kami.

Saat saya membuka pintu mobil, musik yang seperti irama dangdut kedengaran. Terjawab. Memang benar ada pesta di sini. Agak reda, tapi hujan masih jatuh rintik-rintik. Kelihatannya, pesta tetap akan dimulai, meski lumpur jadi lantai dansanya.

Anak-anak, remaja, bapak-bapak, ibu-ibu ingin menyalami kami. “Saya Sisilia, saya Martha,...” kata mereka memperkenalkan diri satu-satu, tersenyum sangat bahagia. Mimpi apa saya disambut seperti presiden begini.

Seseorang di bawah terpal dengan pengeras suara mengatakan selamat datang kepada kami. Seorang anak menyapa, “Ibu, ayo kita masuk ke dalam,” katanya. “Ayo kita makan dulu,” ucapnya.

Dia mengajak saya ke sebuah rumah berdinding kayu berlantai tanah. Di dalam, seorang ibu menyambut penuh kehangatan. “Saya Mama Theresia, tuan rumah di sini,” katanya, lalu mempersilakan saya masuk. Beberapa laki-laki sudah duduk di situ, salah satunya ternyata Lurah Golo Wangkung, Petrus Sahadun.

“Di sini, kalau berkunjung ke orang, jangan kaget kalau misalnya tetangga juga datang, ngobrol-ngobrol, itu biasa,” kata Ramses. Secangkir kopi Manggarai yang masih mengepul-ngepul adalah salah satu tradisi menyambut kehadiran tamu.

Di Golo Wangkung, pertemuan masyarakat biasanya dilakukan di rumah gendang atau aula kelurahan. Partisipasi masyarakat dalam kegiatan gotong royong sangat tinggi di sini. Baik umat Katolik maupun Islam saling bahu-membahu. Tokoh agama, tokoh adat, tokoh intelektual, dan tokoh pemerintahan setempat memegang peranan besar dalam kehidupan warga.

Setiap rumah yang dikunjungi pasti menyuguhkan sesuatu, setidaknya kopi. Kalau kita berkunjung bertepatan dengan waktu makan, mereka akan kembali meminta tamunya makan. Tak jarang mereka memaksa makan lagi, meskipun sudah diberitahu sudah makan di rumah tetangga. Kami bisa makan empat sampai lima kali dalam satu hari, dan enam gelas kopi tandas dalam satu hari saja.

Mama Theresia lalu keluar meletakkan hidangan utama. Sayur labu, ayam goreng, ayam sayur, ini menu besar bagi masyarakat Golo Wangkung. Seseorang yang dihormati memimpin doa dengan kepercayaan Katolik, kepercayaan yang dianut sekitar 1.847 warga Golo Wangkung. Warga Muslim yang minoritas juga berdoa sesuai keyakinannya.

Walau perjamuan penuh kekeluargaan sudah selesai, tapi pesta di luar baru akan dimulai. Bergoyang sampai fajar terbit.


(win/mer)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER