Pencetus Deja vu yang Membuatnya Terus Menghantui Pikiran

Windratie | CNN Indonesia
Selasa, 14 Apr 2015 16:37 WIB
Deja vu mungkin berhubungan dengan neurotransmitter dopamin yang ditemukan dengan tingkat lebih tinggi pada remaja dan dewasa muda.
Ada hubungan kuat dan konsisten antara deja vu dan kejang yang terjadi pada orang dengan epilepsi lobus temporal medial. (Getty Images/ Thinkstock/Fuse)
Jakarta, CNN Indonesia -- Banyak orang pernah mengalami ini pada satu waktu. Deja vu, rasa pernah mengalami sesuatu  yang menghantui.

Ilmuwan Perancis menyelidiki deja vu bertahun-tahun lamanya. Namun, belum ada penjelasan lengkap untuk fenomena tersebut, meskipun lebih dari 70 persen orang dilaporkan pernah mengalaminya.

Meski demikian, penelitian terbaru menghasilkan beberapa petunjuk penyebab deja vu. Dilansir dari laman Live Science, tampaknya deja vu terjadi seimbang antara laki-laki dan perempuan dari seluruh ras, berdasarkan penelitian tahun 2003 dari Journal of Nervous and Mental Disease.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Deja vu lebih sering terjadi pada orang-orang berusia antara 15 sampai 25 tahun.

Kenyataan tersebut menyebabkan beberapa ahli percaya, deja vu mungkin berhubungan dengan neurotransmitter dopamin yang ditemukan dengan tingkat lebih tinggi pada remaja dan dewasa muda. Hipotesis tersebut dilakukan setelah kasus aneh lelaki sehat berusia 39 tahun muncul.

Lelaki berprofesi dokter tersebut berjuang melawan flu dengan mengonsumsi amantadine dan phenylpropanolamine. Dua obat ini dikenal dapat meningkatkan aktivitas dopamin di otak. Dalam waktu 24 jam dari mulai mengonsumsi obat, dia melaporkan mengalami episode deja vu yang terus kambuh.

Studi kasus yang diterbitkan pada 2001 dalam Journal of Neuroscience Clinical ini melaporkan, setelah dokter tersebut berhenti minum obat, deja vu-nya pun hilang.

Deja vu dan epilepsi

Pemahaman deja vu lain berasal dari penelitian terhadap epilepsi. Ada hubungan kuat dan konsisten antara deja vu dan kejang yang terjadi pada orang dengan epilepsi lobus temporal medial. Yaitu, jenis epilepsi yang memengaruhi bagian hippocampus di otak.

Hippocampus punya peran kunci dalam mengelola ingatan jangka panjang dan jangka pendek. Seseorang dengan epilepsi medial lobus temporal, secara konsisten mengalami deja vu pada awal kejang, menurut laporan dalam jurnal medis Neuropsychologia pada 2012.

Fenomena itu membuat para ahli mengusulkan, deja vu seperti kejang, epilepsi adalah akibat tembak saraf. Neuron mengirimkan sinyal secara acak sehingga menyebabkan orang sehat mengalami ingatan rasa keakraban yang palsu.

Realitas virtual memicu deja vu

Deja vu adalah peristiwa sekilas. Kebanyakan deja vu berlangsung tidak lebih dari beberapa detik. Itu sebabnya mengapa deja vu sulit untuk dipelajari. Namun, psikolog kognitif Anne Cleary dari Universitas Negeri Colorado di Fort Collins menemukan cara yang mendorong hadirnya deja vu menggunakan realitas virtual.

Cleary dan rekan penelitinya menciptakan 128 adegan realitas virtual kota 3D, yang mereka sebut deja-ville, menggunakan permainan The Sims 2. Ketika responden menjelajahi Deja-ville memasuki ruang kedua, mereka melaporkan perasaan deja vu. Namun, mereka tidak dapat menghubungkan perasaan tersebut saat menjelajahi ruang pertama.

“Orang-orang memiliki peningkatan rasa deja vu saat adegan tersebut memiliki layout yang mirip. Namun, mereka gagal mengingat sumber rasa akrab tersebut, kata Cleary.

Deja vu berkaitan pula dengan beberapa fenomena lain yang sama menantang untuk dijelaskan ilmuwan. Jamais vu atau 'tidak pernah melihat' terjadi saat seseorang mengalami sesuatu yang akrab, seperti ruang tamu mereka sendiri, tapi merasa mereka belum pernah berada di sana sebelumnya.

Juga deja entendu atau 'sudah mendengar'. Ini terjadi ketika seseorang merasa yakin mendengar sesuatu sebelumnya, seperti potongan percakapan atau frase musik. Namun, dia tidak ingat waktu atau tempat yang tepat peristiwa itu terjadi.

(win/mer)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER