Jakarta, CNN Indonesia -- "Jadi ada kejadian, walaupun kita sudah bawa obat tapi saya kelupaan bawa (suntikan) syringe. Waktu itu ada di daerah pelosok Jawa Barat. Saya ke Puskesmas, saya udah jelaskan bahwa suami saya defisit faktor 9 ke dokter pas saya mau beli syringe, tapi kita disangka pemakai, jadi suami saya enggak bisa diobatin," ujar Novi Riandini (41) dengan mata berkaca-kaca.
Novi adalah istri penyandang hemofilia, Muhammad Gunarso (42). Pria yang sudah terdiagnosa hemofilia sejak umur 6 bulan tersebut mengalami kesulitan dengan pendarahan sejak kecil. Gunarso menyandang hemofilia B, di mana dirinya tidak memiliki faktor pembeku darah IX. Ibu dua orang anak ini juga seorang relawan di Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia.
(Baca juga:
Sering Memar dan Mimisan? Awas Gejala Penyakit Hemofilia)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dulu waktu kecil sering pendarahan, jadi pas berangkat sekolah enggak masalah tapi dalam waktu dua jam pendarahannya (menunjuk paha) bisa naik ke atas, langsung enggak bisa jalan. Itu harus 'diisi' (konsentrat faktor IX) kalau enggak bisa naik ke perut juga,” kata Gunarso. “Kalau orang lain memar besoknya hilang, kalau saya bisa nyebar ke mana-mana.”
Prosedur-prosedur medis yang dianggap sederhana oleh orang-orang lain bagi Gunarso bisa jadi masalah hidup dan mati. Pekerja swasta di bidang IT ini bahkan menunda untuk mengangkat gigi geraham belakangnya selama sepuluh tahun dan patah tulang belikatnya akibat kecelakaan sepeda motor.
"Harusnya gigi (geraham belakang) Mas Gun dioperasi sejak 10 tahun yang lalu, karena obat enggak ada kita enggak berani ambil risiko,” kata Novi. Menurut Novi, untuk obat saja ia harus mengeluarkan biaya sekitar Rp 270 juta. “Kebetulan Alhamdulillah kemarin dapat donasi jadi sempat bisa operasi,” katanya menambahkan.
Hambatan lain yang menghadang Gunarso, hemofilia adalah penyakit yang perawatannya membutuhkan waktu sepanjang hayat. Faktor ini dipersulit dengan biaya yang sangat besar.
"Sekali suntik kalau pendarahan enggak terlalu berat tuh, minimal harus masuknya lima vial. Sekitar 500 IU, kalau dirupiahkan satu botolnya Rp 6 juta, dikali lima. Itu untuk sekali pendarahan sekali episode pendarahan. Paling lama rentang waktunya seminggu sampai sepuluh hari," kata Gunarso menjelaskan.
Tidak hanya kesulitan dengan prosedur medis, keluarganya pun sempat terbelit persoalan ekonomi. Pada medio 2002-2004, dirinya sempat ditolak untuk program Jaring Pengaman Sosial.
"Saya waktu itu sudah sempat nangis heboh karena Puskemas yang melarang kami mendapatkan JPS. Itu sampai saya datang ke Kepala Dinas Kesehatan langsung pun tetap ditolak. Dua tahun kita hidup lumayan berantakan," ujar Novi.
Berbagai cara ditempuh untuk dapat terdaftar dalam program tersebut, seperti tinggal di rumah kerabat yang jauh dari pusat kota dan berjualan barang-barang bekas. Novi dan Gunarso pun merasa cemas tiap kali pemerintahan berganti karena takut kebijakan jaminan pemeliharaan kesehatan berubah.
Namun seperti jatuh tertimpa tangga, Novi dan Gunarso kini mengalami masalah baru. Stok konsentrat tersebut telah mencapai kuotanya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) karena harga obat yang tidak murah dan tender yang hanya dilakukan per tiga bulan sekali.
Novi dan Gunarso pun berharap pemerintah dapat memudahkan perawatan penyandang hemofilia, salah satu caranya adalah dengan melakukan pembelian konsentrat faktor pembeku VIII dan IX lewat tender nasional.
"Di luar negeri itu dilakukan secara tender nasional, sehingga pembelian dan pendistribusiannya sangat mudah dan akhirnya jatuhnya murah. Pernah satu kali di tahun 2005 saya dapat data, jadi negara luar yang membeli dengan tender itu harganya sepertiga dibanding di Indonesia untuk obat yang sama," kata Novi.
Walaupun terhalang banyak faktor, keluarga Gunarso tak patah arang. Obat yang didonasikan dari luar negeri pun turut membantu perawatan Gunarso.
"Ini kami menjalaninya dengan penuh doa dan perjuangan mas," ujar Novi menutup perbincangan sambil tersenyum.
(mer/mer)