Jakarta, CNN Indonesia -- Dari lereng Gunung Fuji yang indah sampai ke jalan-jalan menuju kuil di Kyoto, para wisatawan berjejalan di tempat-tempat wisata utama di Jepang. Memenuhi kereta bawah tanah di Tokyo, dan mengalirkan uang tunai untuk produk kosmetik, makanan sushi, bahkan kursi toilet yang super canggih.
Nilai tukar yen yang murah, visa yang lebih mudah, serta inisiatif lainnya telah memikat wisatawan asing untuk mengeluarkan anggaran di Jepang, dan melihat beberapa situs Warisan Dunia UNESCO di Negeri Sakura tersebut.
Dilansir dari laman news.com, pariwisata adalah salah satu di antara banyak industri di Jepang yang tertatih-tatih selama lebih dari 20 tahun pertumbuhan ekonomi yang lamban. Penduduk setempat mengencangkan ikat pinggang mereka, dan sebagian besar menjauhi Jepang karena takut dengan skandal harga pangan yang luar biasa tinggi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, Jepang telah menjadi tujuan wisata favorit karena nilai tukar yang melemah dari sekitar 80 yen per dolar Amerika Serikat pada 2012 menjadi sekitar 123 yen per dolar AS pada saat ini. Pengunjung asing melebihi sepuluh juta orang untuk pertama kalinya pada 2013, dan meningkat menjadi 13,4 juta tahun lalu.
Ambisi mereka adalah meraup sekitar 20 juta wisatawan pada 2020, ketika Tokyo menjadi tuan rumah Olimpiade. Perdana Menteri Shinzo Abe telah mencanangkan slogan pariwisata 'Cool Japan' dan 'Omotenashi', yang merupakan filosofi keramahan Jepang.
Abe juga mengampanyekan merek nasional dengan memanfaatkan produk dan konsep yang dianggap memiliki keunikan Jepang, misalnya kartun anime dan masakan tradisional washoku.
Upaya tersebut tampaknya terlunasi. April kemarin, ketika Sakura bermekaran, bertepatan juga dengan libur Paskah di Asia, sekitar 1,7 juta turis asing berkunjung ke Jepang. Pada bulan Mei, wisatawan secara keseluruhan naik dua kali lipat. Kenaikan besar datang dari wisatawan China, Hong Kong, dan Korea Selatan.
“Dengan nilai yen terlemah dalam beberapa dekade terakhir, ini membawa keuntungan bagi kami saat ini,” kata Grant Lutwyche, seorang montir mobil dari Australia yang mengunjungi kawasan Candi Asakusa Tokyo dengan istrinya.
Ledakan wisatawan menawarkan peluang bisnis baru, tapi juga memberikan tantangan. Investasi di bidang infrastruktur tertinggal, dan banyak pekerja industri jasa tidak bisa berurusan dengan orang asing.
“Kami membutuhkan lebih banyak staf yang dapat berbicara bahasa asing, terutama China,” kata Noriko Fukazawa, direktur sebuah perusahaan kosmetik Jepang. Para karyawan mempelajari satu frase bahasa China dan satu frase bahasa Inggris satu hari. Frase hari Rabu adalah 'silahkan masukkan tas Anda di sini' dalam bahasa China.
Kunjungan turis China sangat lambat setelah bencana nuklir pada 2011 dan bangkitnya ketegangan antara Tokyo dan Beijing pada 2012.
(win/mer)