Yirrkala, Batik Lambang Persahabatan Indonesia-Australia

Nadi Tirta Pradesha | CNN Indonesia
Kamis, 09 Jul 2015 14:50 WIB
Batik bukan hanya sekadar lembaran kain yang digambar dengan malam. Tapi batik punya segudang cerita, makna dan juga sebuah perlambang kenangan persahabatan.
Batik Yirrkala (CNN Indonesia/ Nadi Tirta Pradesha)
Jakarta, CNN Indonesia -- Batik bukan hanya sekadar lembaran kain yang digambar dengan malam. Tapi batik punya segudang cerita, makna dan juga sebuah perlambang kenangan persahabatan.

Gambaran persahabatan, ditorehkan untuk mengenang kembali sejarah hubungan baik Indonesia-Australia. Hubungan persahabatan yang sudah terjalin sejak puluhan tahun ini dituangkan dalam goresan malam yang disebut sebagai batik Yirrkala.

Ada enam buah batik versi Yirrkala. Salah satunya dihadiahkan pada Museum Tekstil Jakarta pada Selasa (7/6). Duta Besar Australia untuk Indonesia, Paul Grigson menyerahkan batik katun tersebut sebagai hadiah kenegaraan. Sementara batik yang berbahan sutra disimpan di Kedutaan Besar Australia di Jakarta.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Grigson, batik Yirrkala merupakan kombinasi sejarah panjang suku Bugis dan Yolngu yang ditampilan dalam teknik artistik modern.

"Terdapat sejarah panjang antara penduduk North East Arnhem Land dan Makassar. Mereka adalah pedagang yang berpergian antara Australia dan Indonesia. Dalam batik tersebut terdapat simbol-simbol yang menggambarkan hubungan tersebut," papar Grigson.

Yirrkala sendiri sebenarnya merupakan sebuah lagu yang diciptakan di masa lampau oleh penduduk asli Australia untuk menggambarkan hubungan akrab antara suku Yolngu yang mendiami Wapilina dengan suku Bugis, Makassar. Suku Bugis yang melakukan perjalanan laut ke pulau Wapilina ternyata meninggalkan jejak barang berupa pisau baja, bantal, rokok, kartu dan uang. Lagu yang bercerita tentang pejuang Yolngu, Birrinydji menggambarkan hubungan dua suku ini. Kedua suku ini bahkan juga melakukan hubungan dagang.

Dalam perkembangannya, lirik lagu persahabatan itu diinterpretasi ulang oleh seniman totem dan cukil kayu, Ronald Nawurapu Wunungmurra lewat cukil kayu Yirrkala berjudul 'Manda at Gurrumurru.'
Kini, lirik lagu dan juga lukisan kayu dari Wunungmurra di atas kayu pohon bark ini dituangkan dalam media yang lebih lekat dengan masyarakat Indonesia, yaitu batik.

Batik Yirrkala ini memiliki motif segitiga sama sisi dengan warna merah bata, hitam dan putih yang dibuat mendatar. Segitiga kecil yang memenuhi lembaran kain tersebut sebenarnya menggambarkan layar kapal pelaut Bugis yang terpapar sinar matahari.

Kepiawaian olah batik Pekalongan

Adalah Dwita Herman, pengrajin batik Buana Alit Gallery asal Pekalongan yang menggoreskan malam membentuk motif segitiga kecil sama besar di atas kainnya.

Awalnya Dwita mengaku dihubungi Atase Kebudayaan Kedutaan Besar Australia, Alison Purnell yang mencari pengrajin batik kontemporer untuk proyek tersebut. Batik kontemporer merupakan kreasi batik dengan motif modifikasi yang berbeda dengan batik pakem pada umumnya.

"Kebetulan saya memang mendesain batik yang kontemporer. Jadi di luar dari pakem batik," kata Dwita di Museum Tekstil, Jakarta, beberapa waktu lalu.

"Nah dari situ dia memilih saya lewat interview dan kemudian saya diberikan proyek ini. Jadi dari email dia kirim gambar-gambarnya, kemudian saya aplikasikan ke desain batik. Setelah diapprove baru kita mulai proses pembatikan."

Dari medium foto, Dwita dan tim pun memulai pengerjaan batik tulis Yirrkala dengan teknik pointilisme. Ia butuh waktu enam bulan untuk mengerjakan kain-kain batik ini. Hanya saja, dalam waktu enam bulan ini, ia menghasilkan enam set kain batik. Beberapa di antaranya adalah batik berbahan katun dan sutra.

Dalam proses pengerjaan batik Yirrkala, Dwita mempelajari terlebih dahulu simbol-simbol yang diukir Ronald. Menurutnya motif yang menggambarkan layar kapal bergelombang pada Yirrkala mirip dengan motif batik Jawa.

"Jadi motif batik ini bercerita mengenai gelombang. Sebetulnya kita di Jawa kan punya motif air yang namanya Tirto Tejo, itu mirip-mirip sebetulnya. Uniknya di situ dan mereka juga bikin pakai titik-titik (pointilism). Kami membatiknya mengikuti titik-titiknya itu," imbuh Dwita.

"Kami tidak menemui kesulitan, batik itu kan banyak motif. Dan kami, para pengrajinnya, sudah terlatih bikin jadi enggak ada masalah. Ini memang tingkat kesulitannya lebih tinggi karena semuanya berupa titik. Soal lainnya enggak masalah, pewarnaan juga mirip dengan yang asli yang dibuat oleh Pak Ronald Nawurapu Wunungmurra," jelas Dwita.

(chs/chs)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER