Agen Model yang Membebaskan WNI dari Perdagangan Manusia

Hanna Azarya Samosir | CNN Indonesia
Jumat, 14 Agu 2015 21:38 WIB
Sebagai seorang CEO agen model dunia, Katie Ford terus berkelana ke seantero benua, mencari paras-paras muda nan unik untuk ditransformasi menjadi bintang.
Katie Ford bersama aktor Liev Schreiber dalam suatu acara. (Andrew H. Walker/Getty Images)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sebagai seorang CEO agen model terkemuka dunia, Katie Ford terus berkelana ke seantero benua, mencari paras-paras muda nan unik untuk ditransformasi menjadi bintang yang bersinar di panggung peragaan busana di New York, Paris, dan Milan.

Kini, Ford menggunakan kemampuan yang telah ia asah selama bekerja di Ford Models sebagai pedang untuk memerangi perdagangan manusia dan perbudakan di Amerika Serikat hingga seluruh pelosok dunia.

Di tengah hingar bingar dunia mode, Ford sendiri sebenarnya tak pernah mendengar isu perdagangan manusia. Semua bermula ketika Ford diundang Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menghadiri konferensi pada delapan tahun silam. Ford terkejut ketika mendengar fakta tragis yang sebenarnya juga terjadi di industrinya sendiri.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Bagaimana orang diperdagangkan sebenarnya mirip dengan bagaimana kami merekrut model di seluruh pelosok dunia. Kami berbicara dengan perempuan muda kebanyakan, juga pria, mengenai peluang bekerja di New York, di industri mode," ujar Ford kepada CNN.

Ford tak menampik bahwa dunia model memang menawarkan ketenaran dan uang berlimpah. Namun, harapan kehidupan lebih baik yang ditanamkan dalam benak calon model ternyata tak selalu sesuai dengan impian mereka.

"Mereka berharap dapat membangun kehidupan lebih baik bagi keluarga mereka di kampung halaman, lalu mereka terperangkap dalam situasi yang tidak mereka perkirakan," katanya.

Terinspirasi dari perkataan yang didengar, Ford tersadar bahwa banyak model rekrutannya hijrah ke AS dan tidak menjalani hidup bahagia seperti dalam bayangan mereka.

Akhirnya, Ford mendirikan sebuah yayasan, Freedom for All, sebagai wadah dukungan bagi korban perbudakan modern. Freedom for All mendorong perusahaan untuk mengeliminasi sistem perbudakan dalam rantai kerja produksi.

"Saya tahu, saya dapat melakukan sesuatu untuk membantu karena saya memiliki rangkaian pengetahuan sangat spesifik, yaitu peraturan imigrasi, mengurus anak muda melancong untuk bekerja. Sebagai CEO, Anda mengendalikan segalanya, jadi itu memberikan rasa percaya kepada saya bahwa saya dapat melakukan perubahan karena saya terbiasa mengubah sesuatu," tutur Ford.

Bantu Warga Negara Indonesia

Salah satu orang yang pernah dibantu oleh Ford adalah analis finansial asal Indonesia, Shandra Waworuntu. Pada 1998, ia kehilangan pekerjaan dan memutuskan untuk mencari peruntungan di AS.

Shandra pun tak ragu memberikan uang sebesar US$3 ribu atau kini setara Ro41,3 juta kepada agen perekrut sebagai jaminan pekerjaan selama enam bulan di sebuah hotel di Chicago.

"Saya sangat bersemangat. Saya pergi ke kedutaan, dapat visa, dan terbang ke New York," ucap Shandra.
Ketika pesawat mendarat, langkah Shandra tiba-tiba berat. Shandra dipertemukan dengan seorang pria yang berkata bahwa ia harus menginap di New York.

"Ia mengantar saya ke satu tempat dan menukar saya dengan sejumlah uang. Saya dijual dan dipaksa memasuki bisnis seks di hari yang sama, hanya dalam tiga atau empat jam," tutur Shandra.

Paspor Shandra ditahan. Ia harus mendapatkan uang US$30 ribu jika ingin dibebaskan.

Diberi nama Candy, Shandra mendulang kesuksesan besar di hotel-hotel dendi. Namun, Shandra tak dapat tinggal berdiam diri. Ia sempat berusaha kabur dua kali meskipun tak dipercaya polisi. Shandra pun sempat merasakan rumput taman sebagai alas tidurnya. Mengemis makanan demi mengisi perutnya.

Hingga akhirnya, seorang teman membantu menghubungkan Shandra dengan pihak berwenang yang telah menahan beberapa pelaku perdagangan manusia dan menyelamatkan korban lainnya.

Kini, Shandra bekerja untuk membantu korban perdagangan manusia di AS. Ia memberikan pelatihan dan mencarikan kesempatan bekerja dengan menjembatani para korban dengan komunitas.

"Cara saya bertahan tidak mudah, tapi saya belajar sesuatu," katanya. Didukung oleh Ford, Shandra pun berbagi kisahnya memotivasi orang lain. "Setiap kali Anda mendengar kisah korban yang bertahan, itu sangat mengharukan. Ini adalah inspirasi. Sangat indah menyaksikan perubahannya, melihat seseorang saat mereka pertama kali tenggelam dalam ketakutan dan dua atau tiga tahun setelahnya, mereka mengaum. Menakjubkan," kata Ford.

Ford berharap kisah inspiratif Shandra dapat menjadi mesin pendorong perubahan dunia mode dan industri lainnya yang mulai terjamah perbudakan modern.

"Setiap petualangan dimulai dengan langkah pertama. Semakin banyak orang mengetahui hal ini, peduli, mereka akan mencari tahu. Kini, jika kami melihat orang terikat dengan perbudakan, kami akan bertindak. Namun, dalam perbudakan Transatlantik, itu adalah hal normal. Perilaku orang selalu berubah, tapi mereka harus paham apa yang mereka lihat," papar Ford.

Seiring majunya zaman dan pemikiran, Ford melihat ada perkembangan. Namun, Ford tetap frustrasi melihat banyaknya pelaku bisnis yang mengabaikan tanda-tanda perdagangan manusia.

"Dalam beberapa kasus, orang mencoba mengimplementasikan perubahan, tapi ada juga yang tak peduli. Mereka berkata, 'Oh, itu dua, tiga, empat langkah dari saya. Jauh dari tempat saya berada.' Namun, keuntungan dari bisnis tersebut sebenarnya tak jauh dari mereka," tutur Ford.

Walaupun gerah, Ford mengaku tak akan menyerah. "Sampai semuanya berakhir dan saya harap selama saya masih hidup," katanya.


(utw/utw)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER