Orthorexia: Saat Diet Sehat Berubah Jadi Obsesi Tak Sehat

Christina Andhika Setyanti | CNN Indonesia
Selasa, 29 Sep 2015 06:25 WIB
Diet sehat boleh saja dilakukan. Namun ketika semuanya berubah jadi obsesi, diet sehat bisa berubah jadi tak sehat bahkan membahayakan.
Ilustrasi makan sehat (thinkstock)
Jakarta, CNN Indonesia -- Musim panas lalu, Kaila Prins akan berulang tahun ke-13. Di usia ini dia mulai bergerak melawan semua aturan. Ibunya ingat ketika dia masih bayi, Prins menjalani tes alergi kacang kedelai. Hasilnya, dia diharuskan untuk mulai diet. Hal ini menyebabkan dia harus benar-benar memerhatikan makanan yang disantapnya.

Sebelumnya, dia tak pernah memberi perhatian lebih pada apapun yang disantapnya. Dia makan aneka junk food, atau kue manis, sama seperti remaja pada umumnya. Namun, kondisi kesehatan dia tidaklah sama dengan remaja lainnya. Dia mulai harus memerhatikan label makanannya.

Parahnya, perhatian lebih pada label makanan dan bahan makanan yang dikonsumsinya ini justru perlahan-lahan berubah jadi obsesi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dia menyebutnya sebagai perfeksionis atau kesempurnaan. Dia tak mau setengah-setengah. Sejak divonis menderita alergi pada kedelai, dia mulai membaca label makanan dengan sangat serius.

Dia mulai memutuskan untuk hidup sehat dengan menghilangkan kedelai dalam daftar makanannya. Dia juga mulai mengeliminasi lemak-lemak berlebih, gula tambahan.

Dengan segera dia berubah jadi oang yang hanya makan roti gandum, selai kacang, buah dan salad. Di akhir musim panas, perempuan ini memiliki tinggi tubuh 162,6 cm dengan bobot tubuh 43,9 kg.

Keluarganya sendiri tidak khawatir dengan fisiknya, namun justru memberinya semangat terhadap pola hidup sehatnya.

"Anggota keluarga yang dulunya tak pernah memuji saya sebelumnya, kini mengatakan kalau fisik saya terlihat bagus," kata Prins, dikutip dari Guardian.

Namun, semakin bertambah usianya, kebiasaan makan sehat dan juga latihannya pun mulai mendiktenya. Di sekolahnya, dia adalah kapten olahraga. Sedangkan di kampusnya, dia selalu bersepeda dalam jarak jauh satu jam sebelum pergi ke gym.

Lulus kuliah, dia mulai mengikuti aturan makan yang mengadaptasi clean eating untuk binaraga perempuan. Dia berolahraga dengan personal trainer untuk  bersaing di kompetisi binaraga. Dia bahkan mendapat sertifikat sebagai personal trainer.

Obsesinya untuk hidup sehat pun makin menggila, dia menjadi seorang vegan. Namun ini membuat wajahnya ditumbuhi jerawat dan malu pergi ke kantor. Dia juga berhenti mengalami menstruasi. Hanya saja, dia masih beranggapan kalau dia sehat.

"Ketika saya ada di gym, saya memakai sport bra, dan perempuan lainnya akan mengatakan kalau saya terlihat menakjubkan dan mereka ingin jadi seperti saya."

Sebenarnya di dalam hatinya, dia merasa sedih. Dia ingat bagaimana rasanya berkencan di restoran pizza dan bioskop. Dia makan satu potong pizza dan menyimpannya untuk disantap saat nonton. Dia ingat bagaimana rasanya makan makanan yang 'tak sehat.' Namun hidup yang sekarang dijalaninya berubah 180 derajat.

Dengan segala aturan makan dan juga olahraganya, dia jadi depresi, nyaris bunuh diri. Dia tak bisa konsentrasi saat belajar. Dia meninggalkan kampusnya, Columbia University setelah satu tahun pertama.

Dia melakukan terapi, namun dia mulai berdebat dengan terapisnya tentang lettuce adalah karbohidrat atau bukan.

Orthorexia Nervosa

Lama-lama, dia merasa ada yang salah dengan dirinya. Sampai akhirnya dia pun mendapat jawabannya lewat sebuah buku orthorexia nervosa dari Dr Steven Bratman. Ortho berati benar atau tepat, sedangkan rexia adalah keinginan. Dengan kata lain, orthorexia adalah keinginan untuk jadi benar atau sempurna. Prins tahu apa yang terjadi dengan dirinya saat itu.

Orthorexia nervosa juga bisa berarti obsesi tak sehat akan makanan sehat, menurut National Eating Disorders Association. Sebenarnya gangguan makan ini tidak banyak diketahui karena tak bisa didiagnosa klinis.

Banyak dokter menyatakan kalau mereka sekarang punya banyak pasien yang diduga menagalami gangguan orthorexia.

"Orang dengan anorexia membatasi asupan makanan mereka dengan mengikuti diet sehat agar kurus. Namun orang orthorexia membatasi makanan mereka dengan diet sehat agar jadi sehat. Hanya saja berlebihan," kata Thomas Dunn, profesor psikologi di University of Northern Colorado.

Setelah tahu masalah gangguan makannya, Prins pun akhirnya mulai memperbaiki pola makannya.

"Saya masih makan makanan sehat. Saya suka sayuran. Tapi saya tidak mengunggahnya di media sosial," kata Prins.

Prins mengaku semua hal ini cukup membingungkan. "Kami sangat terobsesi dengan nutrisi, sulit untuk membedakan antara orang-orang yang hanya sangat sadar pada kesehatan." (chs)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER