Jakarta, CNN Indonesia -- Kasus Angeline, pembunuhan Kalideres, dan kekerasan anak di Cipulir, membuat kewaspadaan mengenai kekerasan seksual terhadap anak kembali mencuat.
Anak, pada dasarnya, merupakan seseorang yang berusia di bawah 18 tahun dan memiliki hak dilindungi dan dipenuhi kebutuhannya oleh orangtua.
Faktanya, banyak anak-anak yang terlanggar haknya. Mereka jauh dari kata terlindungi dan menjadi korban kekerasan, mulai kekerasan verbal, fisik, bahkan seksual. Menurut data yang didapat dari Pusat Data dan Informasi (PUSDATIN) Komnas Anak mencatat total 21.689.797 kasus pelanggaran Hak Anak yang tersebar di 34 provinsi, dan di 179 kabupaten/kota.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Adapun dari angka tersebut, sebanyak 58 persen diantaranya merupakan kekerasan seksual. Selebihnya adalah kasus kekerasan fisik, penelantaran, penculikan, eksploitasi ekonomi, perdagangan anak untuk tujuan eksploitasi seksual komersial serta kasus-kasus perebutan anak. Data tersebut bersumber dari laporan masyarakat melalui pelayanan pengaduan langsung (hotline service), pemberitaan media massa serta pengelolaan data dan informasi yang dikumpulkan oleh Lembaga Perlindungan Anak (LPA) di 34 provinsi.
Oleh karena itu, Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait, mengatakan angka tersebut sudah mengkhawatirkan dan membuat Indonesia masuk dalam status darurat kekerasan terhadap anak.
Sementara Pemerhati Anak Seto Mulyadi atau yang lebih dikenal dengan panggilan Kak Seto mengungkapkan, hingga Juni 2015, sudah terdapat 1725 laporan kasus kekerasan terhadap anak yang diterima Komnas Anak. Sebanyak 51% merupakan kejahatan seksual.
Parahnya lagi, anak kerap merasa segan mengadukan kasus kekerasan yang menimpa mereka pada orangtua dengan alasan takut dimarahi. Banyak orangtua yang justru menganggap itu terjadi karena kesalahan si anak, hal yang semakin membuat anak memilih diam.
“Kadang, salah sedikit langsung dimarahi, dipukul. Orangtua mungkin tidak sadar, itu juga termasuk bentuk kekerasan,” kata Dr Suzy Yusna Dewi, psikiater anak dan remaja yang ditemui di ‘Deteksi Dini & Penanganan Terkini Kekerasan Seksual Pada Anak’ di Jakarta Barat, Kamis(22/10).
Imbasnya, anak yang mengalami kekerasan seksual pun cenderung enggan mengadu dan memendam apa yang mereka rasakan. Padahal dalam jangka waktu lama, hal itu bisa menimbulkan tekanan pada jiwa anak, yang bisa berujung gangguan mental.
"Kurangnya perhatian orangtua juga menjadi faktor lain mengapa anak takut untuk menceritakan apa yang terjadi,” tambah Dr Suzy.
Oleh karena itu, orangtua pun harus bisa mengubah sikap, dari agresif menjadi asertif serta jeli melihat ‘kode’ yang diberikan si anak. “Karena takut, biasanya anak akan memberikan kode dari perubahan sikap,” terang Suzy.
Sayangnya lagi, orangtua juga tidak tanggap menghadapi kode tersebut. Bahkan, di banyak kasus, kode perubahan perilaku itu tidak ditanggapi serius. “Kalau tidak dianggapi serius, akibatnya bisa lebih parah,” sambung Suzy.
Dia menambahkan, perubahan perilaku anak korban kekerasan seksual umumnya anak yang berubah pendiam, bersikap kontras dari keseharian, mudah marah, malas, sering mimpi buruk, dan selalu dihantui rasa takut.
“Dari perubahan sikap tersebut, seharusnya orangtua peka dan langsung menanyakan apa yang terjadi. Kurangnya kesadaran dan perhatian orang tua membuat anak sulit untuk meceritakan apa yang sebenarnya terjadi dan memperlambat penanganan,” ujar Suzy.
Di sisi lain, Suzy juga memperingatkan bahwa lingkungan paling aman bahkan bisa jadi ‘sarang’ predator anak.
“Tidak ada yang namanya terlalu berhati-hati, semua lokasi, termasuk rumah sendiri yang dianggap aman, bisa jadi tempat terjadinya kekerasan pada anak,” ucap dia.
Senada dengan Arist Merdeka Sirait yang menyebut sekolah dan panti asuhan juga bisa jadi tempat berbahaya.
"Panti asuhan dan sekolah harusnya tempat dimana anak bisa dilindungi dan merasa aman, tapi ini malah banyak anak yang menjadi korban kekerasan seksual disana," kata dia.(les/les)