Langgar Etika Profesi, Dokter Boleh Tolak Tes Keperawanan

Silvia Galikano | CNN Indonesia
Senin, 18 Jan 2016 06:24 WIB
Tes keperawanan tidak melindungi dan mendukung kesehatan pasien perempuan.
Tes keperawanan dilakukan di banyak negara sebelum perempuan menikah. (CNNIndonesia GettyImages/Natalia Yakovleva)
Jakarta, CNN Indonesia -- Ketika dokter diminta melakukan tes keperawanan, mereka mesti menolak karena secara medis tidak perlu dan dapat menimbulkan bahaya psikologis, demikian pendapat sejumlah pakar etika Amerika Serikat.

Pemeriksaan seputar panggul ini dilakukan di banyak negara di dunia sebelum seorang perempuan menikah. Namun dokter tak setuju adanya pemeriksaan tersebut, seperti dilansir Reuters. Pasalnya ada tiga hal dalam etika profesi yang dilanggar, yakni melindungi kesejahteraan pasien, menghormati kedaulatan tumbuh perempuan, dan mendukung keadilan, demikian ditulis kelompok ahli etika dalam jurnal The Lancet.

“Tes keperawanan tidak melindungi dan mendukung kesehatan pasien perempuan. Karenanya tes keperawanan sangat tak kompatibel dengan tiga prinsip etika profesional obstetri dan ginekologi,” kata Laurence McCullough, peneliti kebijakan etika dan kesehatan di Baylor College of Medicine di Houston, AS, sekaligus co-author esai tersebut.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tes keperawanan bisa menyakitkan dan membuat perempuan merasa dipermalukan atau direndahkan, ujar McCullough menambahkan lewat email.

"Tak ada manfaat kebersihan klinis dan risiko pencegahan dari bahaya biopsikososial,” ujar McCullough.

Dalam tes tersebut, yang kerap disebut tes “dua jari”, dokter melakukan pemeriksaan dalam vagina untuk merasakan adanya selaput dara, membran tipis yang dipercaya beberapa budaya akan tetap utuh hingga perempuan melakukan hubungan seksual.

Padahal ada perempuan yang terlahir tanpa selaput dara, dan membran tersebut juga dapat robek atau meregang akibat aktivitas, seperti olah raga atau menggunakan tampon.

Sejumlah organisasi HAM mengutuk tes keperawanan, menyebutnya tak berperikemanusiaan dan tak beretika. Menurut WHO, “tak ada tempat bagi tes keperawanan (atau 'dua jari'). Tak ada validitas ilmiahnya.”

Walau begitu, praktik ini tetap diberlakukan di banyak negara, antara lain India, Turki, Afganistan, Mesir, Libya, Yordania, Indonesia, dan Afrika Selatan. Tes keperawanan di tempat-tempat tersebut dilakukan karena budaya atau agama bahwa perempuan harus perawan hingga pernikahan.

Tes keperawanan juga dilakukan di kondisi lain untuk memastikan perempuan tersebut, misalnya, masih perawan ketika masuk militer; serta ketika perempuan dituduh atas kejahatan moral atau lari dari rumah.

Di Afrika Selatan, tes keperawanan awalnya menimbulkan pro-kontra. Namun  kemudian jadi umum dilakukan bersamaan meningkatnya epidemik AIDS, ujar Louise Vincent, peneliti dalam tes keperawanan dan isu kesehatan reproduksi perempuan di Rhodes University di Afrika Selatan yang tak dilibatkan dalam penelitian.

Dalam konteks AIDS, di negara yang banyak perempuan mudanya melaporkan pengalaman seksual pertama mereka bukan suka sama suka, momok tes keperwanan dapat berfungsi sebagai pencegah hubungan seksual yang tak diinginkan di masa depan, ujar Vincent.

Walau dalam kondisi seperti ini, tes keperawanan tak etis dilakukan dokter, ujar McCullough. “

Tak ada situasi di mana pasien perempuan dapat dianggap lebih baik melakukan tes keperawanan,” kata McCullough. (sil)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER