Jakarta, CNN Indonesia -- Seperti selayaknya persiapan menjelang pernikahan, ta’aruf tidak serta merta hanya berdasarkan kemauan untuk merajut rumah tangga dengan seseorang. Meski aslinya bermakna saling mengenal, tetapi taaruf ternyata memiliki proses bukan hanya sekedar berkenalan.
Ikhwan (bukan nama sebenarnya), adalah salah seorang yang melakukan ta’aruf dalam menentukan pendamping hidup.
Ia telah menikah dengan seorang gadis selama empat tahun melalui proses ta’aruf. Ikhwan, yang bersedia berbagi kisah ta’aruf yang ia jalani kepada
CNNIndonesia.com, ternyata juga berlaku sebagai pembina agama dan pernah men-ta’aruf-kan binaannya, tahun lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Masing-masing pembina memiliki pandangan, pemahaman, dan gaya masing-masing, terutama tentang pernikahan. Proses menikah ini sangat penting, karena dapat menentukan jalan hidup seseorang," kata Ikhwan.
"Semua harus ikhlas, tidak ada 'settingan' apalagi politisasi," katanya sembari tertawa.
"Ini dimulai dari pembina yang harus tahu persis binaannya yang ingin menikah. Tapi di sisi lain, sang binaan harus mengetahui apa yang ia inginkan dan ini sangat bergantung akan kepahaman terhadap dirinya sendiri," papar Ikhwan.
Dalam proses perjodohan yang disebut ta’aruf, seseorang yang memutuskan berta’aruf haruslah memiliki pihak ketiga yang dapat mencari serta memediasi pertemuan dengan bakal calon pasangan hidup.
Biasanya pihak ketiga ini adalah pembina agama dari yang berta’aruf, atau orang yang dituakan, atau dianggap memiliki kepahaman agama yang lebih dari yang berta’aruf.
Pengenalan terhadap diri sendiri menurut Ikhwan sangatlah penting karena dapat menentukan karakter apa yang dibutuhkan dari seseorang guna menemani menghabiskan sisa hidup.
Kata Ikhwan, "mau" saja tidaklah cukup, tapi juga harus siap menikah.
"Setidaknya dari yang saya pahami, ada empat indikator kesiapan untuk bertaaruf. Yaitu siap ideologis, siap psikologis, siap finansial, dan siap fisik," kata Ikhwan.
Kesiapan ideologis bagi Ikhwan diperlukan untuk menentukan visi dan arah setelah menikah, dan ini terkait dengan kepahaman agama.
Kesiapan psikologis diperlukan, karena menurut Ikhwan, setelah menikah maka akan sangat mungkin terjadi percekcokan yang membutuhkan kematangan sikap, pengendalian diri, dan pengenalan lingkungan yang baik.
Menurut dia, banyak pernikahan yang tak bertahan lama karena tak memiliki kesiapan psikologis.
Segi finansial menjadi salah satu faktor kesiapan terutama bagi laki-laki yang bertanggung jawab sebagai tulang punggung keluarga. Meski tak harus memiliki harta yang banyak, setidaknya memiliki penghasilan.
Dan kesiapan fisik menjadi yang terakhir karena menikah akan membutuhkan tenaga yang cukup dalam menjalaninya, waktu istirahat berkurang, harus mengurus anak, dan sebagainya.
"Setelah siap, maka kesiapan itu akan tertuang dalam sebuah 'proposal'. Proposal menikah ini tidak memiliki format khusus, yang penting ada gambaran kesiapan-kesiapan tersebut," kata Ikhwan.
"Biasanya yang sukses nantinya akan tercermin dari proposalnya, itu terasa.”
Proposal menikah yang dimaksud Ikhwan bukanlah seperti proposal kegiatan atau kerja sama, namun seperti sebuah gambaran tentang pernikahan. Pada beberapa pihak lain yang berta’aruf, proposal ini juga dikenal sebagai biodata dari yang berta’aruf.
Salah satu laman yang menyediakan jasa taaruf seperti
rumahtaaruf.com, mencantumkan bentuk biodata dari peserta ta’aruf.
Isinya terdiri dari identitas pribadi; gambaran profil diri dan keluarga; kebiasaan; upaya kesiapan menikah; visi dan misi menikah; kriteria mutlak baik fisik, non-fisik, dan syarat dari orang tua; rencana acara pernikahan; rencana pasca menikah, mulai dari tempat tinggal, kehidupan rumah tangga, karier, keturunan dan pendidikan anak, pengelolaan keluarga, target jangka pendek dan panjang, hingga peningkatan pengetahuan agama.
Dan tak lupa untuk menyertakan foto diri, selayaknya pada lamaran kerja.
Seluruh data ini tentunya rahasia dan hanya akan dipegang oleh pembina agama sang peserta ta’aruf atau orang yang dipercaya sebagai mediator.
Setelah mendapatkan data ini, maka pembina agama atau mediator kemudian mencari orang yang cocok untuk saling dipasangkan. Dalam pencarian yang menggunakan berbagai kenalan atau jaringan ini, para pembina biasanya mencari yang paling mendekati kriteria permintaan.
"Biasanya pembina mencari yang setara, dalam berbagai hal seperti pemahaman agama, psikologi, hingga suku dan latar belakang keluarga. Tapi memang tidak akan setara persis. Namun harapannya walau tidak terlalu setara, pembina agama dapat menyetarakan keduanya," kata Ikhwan.
"Lama prosesnya beragam, tidak bisa dipatok sama. Ada yang cepat ada yang lambat, semua tergantung dari peserta ta’aruf," lanjutnya.
Menurut
rumahtaaruf.com, proses ta’aruf yang akan melalui beberapa tahap seperti pengecekan biodata, lalu kemudian ta’aruf secara daring dan kemudian secara nyata.
Ta’aruf secara daring dilakukan berupa pertukaran biodata antara peserta laki-laki dan perempuan yang sama-sama melihat ketertarikan. Hal ini akan dimoderatori melalui moderator.
Andai keduanya merasa saling tertarik, maka moderator akan menanyakan kemantapan keduanya untuk bertemu secara fisik. Bila bersedia, maka moderator akan mendampingi.
Jika sama-sama ingin lanjut ke tahap selanjutnya, maka keduanya dapat melakukan proses ta’aruf antar keluarga berupa lamaran dan seterusnya.
"Pengkondisian orangtua juga termasuk tantangan kesiapan bagi peserta ta’aruf. Biasanya, lebih sulit ada di pihak perempuan karena keberadaan wali nikah untuk perempuan haruslah ada. Tapi, kini syarat penerimaan orangtua berlaku untuk semua," papar Ikhwan.
"Sebenarnya di ta’aruf juga memungkinkan ada referensi sosok yang diinginkan atau memang sudah disuka. Tapi kebanyakan tidak ada atau tidak berani mengungkapkan kepada pembina. Ta’aruf tidak menghambat berkenalan tapi bedanya tidak berduaan, itu saja kok," lanjutnya.
"Secara prinsip, kebaikan dalam memilih pasangan akan membawa kebaikan dalam rumah tangga atau keluarga. Sebagai elemen terkecil dalam masyarakat, bila keluarga sudah baik dan jumlahnya banyak, maka masyarakat akan ikut baik.
Maka bila ingin melindungi keluarga, harus dimulai dengan memilih pasangan yang baik,” kata Ikhwan.
Siap BerubahDari sudut pandang psikologi, psikolog Sri Juwita Kusumawardhani menjelaskan bahwa bagi seseorang yang sudah siap berumah tangga akan memiliki beberapa tanda. Yang pertama disebutkan oleh Sri adalah kesiapan untuk berubah.
"Karena ketika nanti masuk dalam pernikahan, akan ada banyak sekali yang berubah," kata Sri saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Sabtu (13/2).
"Salah satunya adalah waktu, bila saat lajang punya waktu lowong yang banyak maka tidak akan begitu ketika sudah menikah nanti karena harus bersama dengan pasangan, apalagi sudah punya anak.”
Yang kedua ditekankan oleh Sri adalah siap bertanggung jawab. Bertanggung jawab bukan hanya harus dimiliki oleh laki-laki semata. Sebagai contoh dalam pendidikan anak, maka ibu juga akan memiliki tanggung jawab dalam mendidik anak, begitu pula dengan ayah.
Tanda terakhir adalah kesiapan dan kemauan untuk berkompromi. Hidup bersama dengan seseorang yang bisa jadi punya karakter yang berbeda akan memaksa seseorang untuk memilih pilihan berkompromi dan mempertahankan hubungan atau egois dan bersiap punya hubungan yang rapuh.
"Menikah itu kerja tim. Makanya ada yang bilang, menikah itu adalah kematian egosentrisme," kata Sri.
"Menikah butuh keberanian? Bisa juga sebenarnya. Banyak yang pacaran lama namun salah satu pihak belum merasa siap untuk masuk ke fase tersebut, maka hubungan mereka akan begitu-begitu saja. Kalau dalam pacaran mungkin mudah saja putus, tapi kalau menikah kan tidak semudah begitu saja bercerai,” tegasnya.
(les/les)