Indonesia, Pasar Seksi bagi Bisnis Operator Hotel Virtual

Silvia Galikano | CNN Indonesia
Rabu, 16 Mar 2016 14:26 WIB
Operator hotel virtual adalah konsep unik yang mulai dikembangkan di Indonesia. Targetnya, hotel kecil dengan tingkat hunian 65 persen.
CEO Nida Rooms Kaneswaran Avili dan Indonesia Country Director Nida Rooms Anna E. Dartania. (CNN Indonesia/Silvia Galikano)
Jakarta, CNN Indonesia -- Nida Rooms mencatatkan diri sebagai operator hotel virtual (virtual hotel operator - VHO) pertama dan terbesar di ASEAN. Sejak mulai beroperasi, di Malaysia pada November 2015, VHO ini sudah bekerja sama dengan lebih dari 3000 hotel, yakni 1000 hotel di Indonesia, 650 di Malaysia, 1300 di Thailand, dan 200 hotel di Filipina. Di Indonesia sendiri, resmi berdiri sejak Desember 2015 walau sudah mulai beroperasi pada Oktober 2015.

Apa saja yang sudah dilakukan selama empat bulan ini, target besar apa yang akan dicapai, serta bagaimana sebenarnya pengoperasian VHO, berikut perbincangan CNNIndonesia.com bersama CEO Nida Rooms, Kaneswaran Avili dan Indonesia Country Director Nida Rooms Anna E. Dartania di Jakarta, Senin (14/3).

Dari terus tumbuhnya jumlah hotel yang bekerja sama dengan Nida Rooms, bagaimana Anda menggambarkan kondisi pariwisata di Indonesia dan ASEAN?

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kaneswaran:

Kondisi pariwisata sangat positif, terus tumbuh, tak ada penurunan, apalagi didukung penerbangan berbiaya murah ke Indonesia, Malaysia, Singapura, dan negara ASEAN lainnya. Indonesia juga sangat cantik, ada Bali, Yogyakarta, Lombok, Bandung, Surabaya yang terus menarik kunjungan wisata. Saya rasa wisatawan akan terus datang.

Malaysia dan Thailand juga mengalami peningkatan kunjungan wisata. Singapura, walaupun sangat mahal, orang tetap datang ke Singapura. Secara keseluruhan, bagus.

Apakah bisa dibilang Anda memanfaatkan momentum tersebut?

Kaneswaran:

Nida Rooms melihat peluang bersinergi dengan pariwisata. Kami memberi konsumen kesempatan menginap dengan harga murah di lokasi tepat dengan kualitas yang bagus dan dengan standar yang sama. Nida Rooms di Thailand sama dengan Nida Rooms di Indonesia. Konsumen jadi nyaman, begitu konsumen memesan Nida Rooms, mereka tahu apa yang akan didapat.

Anna:

Kami bekerja sama dengan lebih dari 3000 hotel di Asia Tenggara. Jika masing-masing lima kamar, maka ada 15.000 sampai 17.500 kamar yang jadi inventaris kami dalam lima bulan. Dan itu ada di hampir semua daerah. Kami makin kuat dan berkembang setiap hari.

Bagaimana Anda meyakinkan hotel agar mau jadi mitra?

Kaneswaran:

Konsep ini unik. Di Indonesia, memang Nida Rooms yang pertama. Tapi di negara lain sudah ada, yakni di India. Hanya di India.

Kami mencari hotel bintang tiga dan ke bawah yang okupansinya maksimal 65 persen, jadi 35 persennya kosong. Kami minta lima kamar saja untuk di-rebranding sebagai Nida Rooms. Kami menjual lima kamar itu atas nama Nida Rooms.

Dari yang sebelumnya 65 persen, rata-rata okupansi mereka meningkat jadi 70 hingga 75 persen, di samping yang 35 persen itu. Jadi mereka mendapat lebih banyak pendapatan.

Kedua, dengan adanya brand kami di hotel akan meningkatkan reputasi hotel mereka. Sekarang, ada 750 hotel di Jakarta yang brandnya tidak dikenal, seperti Hotel Mitra, Hotel Sutra, Hotel Ganesha. Tapi dengan brand Nida Rooms yang sekarang ada di 3000 hotel, orang lebih kenal.

Kami juga akan membawa lebih banyak kemudahan untuk hotel, bukan hanya melakukannya di kamar Nida Rooms, tapi juga di kamar lain. Jika sebelumnya tidak dapat menyediakan fasilitas TV kabel, setelah bekerja sama dengan kami, jadi tersedia TV kabel.

Anna:

Untuk jadi partner kami tidak dipungut biaya, tinggal masuk ke website. Sekarang jadi sebaliknya, mereka yang merayu kami, “Ayo dong bantu, hotel saya kurang tamu” atau “Bagaimana cara supaya hotel saya bisa dijangkau.”

Tadinya, hotel Anggrek di Kuta tidak ada di Google. Sejak bekerja sama dengan kami jadi banyak yang mengakses.

Ada kasus khusus kesulitan menangani hotel di Indonesia dibandingkan di negara lain?

Kaneswaran:

Tidak ada, kecuali di Singapura yang okupansinya rata-rata 85 persen. Model ini susah untuk diterapkan di Singapura. Di Indonesia lebih seksi. Kesempatan tumbuhnya masih besar. Coverage kami masih 3-5 persen hotel yang ada di Indonesia.

Selama tiga bulan ini, golongan mana yang paling banyak menggunakan fasilitas Nida Rooms?

Anna:

Di Indonesia, kami lebih banyak berinteraksi lewat media sosial. Konsumen lebih banyak orang muda, berusia 20-35 tahun, yakni mereka yang baru bekerja (first jobber) dan yang sedang melakukan perjalanan bisnis singkat.

Istilah budget hotel sekarang bermetamorfosis jadi hotel ekonomis. Yang mencari hotel ekonomis lewat online umumnya orang-orang yang dinamis, cerdas.

Apa saja saran dari pelanggan awal ini?

Kaneswaran:

Umumnya karena light box Nida Rooms masih sedikit, jadi susah mencari hotelnya. Itu yang sedang kami selesaikan tahun ini, 850 sign board untuk dipasang di hotel-hotel yang jadi mitra kami.

Selebihnya, saran agar aplikasi kami mengikuti cara Uber atau Grab, misalnya, agar lebih mudah penggunaannya.  Dengan cara ini kami mendapat riset pasar yang paling murah, nyaris gratis.

Bagaimana dengan persaingan di bidang VHO? Ketatkah?

Anna:

Persaingan adalah sehat sebagai pemacu untuk meningkatkan kualitas dan pelayanan kepada pelanggan. Agar menang berkompetisi, kami harus bermain dengan angka, harus merebut pasar terlebih dahulu. Targetnya, setiap ada hotel yang memenuhi kriteria, hotel itu sudah menjadi bagian partner kami.

Kaneswaran:

Di Jakarta ada 750 hotel dengan klasifikasi bintang tiga dan ke bawah. Dari 750 itu, kami sudah membuat kerja sama dengan lebih dari 200 hotel. Sedangkan 350 hotel tak layak dengan kualifikasi kami karena lokasi tidak bagus, kualitas kamar tidak bagus.

Yang tersisa adalah 100 hotel yang dapat diambil siapa saja yang berminat. Jadi kompetisinya tidak kuat, hanya 100 itu. Kami sudah dapat 200 hotel, porsi terbesar market share.

Di Indonesia ada tiga lagi VHO. Selain itu, di India. Sedangkan di Malaysia, Thailand, Filipina tidak ada.

Kami mulai berintegrasi dengan semua online travel agency (OTA), seperti Expedia, Booking.com, Ticket.com. Mulai bulan depan konsumen dapat membeli kamar Nida Rooms melalui OTA.

Anda tidak menganggap OTA sebagai pesaing?

Kaneswaran:

Tidak. Kami bukan OTA. Justru OTA adalah mitra karena kami menjual kamar lewat OTA juga.

Anna:

Beda OTA dengan VHO adalah, kalau ke OTA tidak bisa pesan dan tinggal karena OTA adalah mesin pemesan (booking engine). Sedangkan di VHO bisa pesan sekaligus tinggal.

Kami jaringan hotel, bukan OTA. Semacam ATM Bersama. Kami me-monetizing kamar-kamar yang tidak terjual untuk dimaksimalkan.

Mengapa Nida Rooms, alih-alih menggebrak lewat promosi, malah terkesan enggan berpromosi?

Kaneswaran:

Promosi belum banyak karena sekarang mendapatkan semua hotel dulu dan bekerja sama dengan OTA. Bulan depan baru gencarkan promosi. Yang penting konsumen membuat booking lewat OTA terlebih dahulu, bukan langsung ke Nida Rooms.

Kalau promosi dilakukan sejalan dengan yang lain, harga promosinya terlalu mahal karena harus membuat iklan, branding, lagi pula kebiasaan konsumen jika ingin memesan hotel perginya ke agoda atau hotel.com. Jadi kalau hendak mengubah kebiasaan untuk langsung ke Nida Rooms lewat promosi dan branding akan butuh waktu lama.

Strategi kami, bekerja sama dengan OTA tanpa mengubah cara orang memesan kamar hotel. Setelah itu baru akan membuat agar lebih langsung.

Apa rencana besar berikutnya?

Kaneswaran:

Sekarang sudah dapat 3000 hotel. Target pertengahan Juni dapat 5000 hotel. Dan pada akhir tahun 10000 hotel di seluruh ASEAN.

Ke-dua, meningkatkan kualitas layanan dengan memperkenalkan lebih banyak produk, seperti transportasi untuk pelanggan ke dan dari hotel, makanan, laundry dengan harga yang menarik.

Tantangannya adalah mendapat karyawan yang bagus untuk IT dan layanan konsumen di ASEAN dengan waktu singkat dan memberi produktivitas lebih tinggi.

Di tiap kawasan dalam radius 15 kilometer ada satu karyawan untuk mengidentifikasi hotel, mengkualifikasi, memeriksa kualitas, mengatur waktu untuk membuat perjanjian branding dengan hotel, berbicara dengan manajemen untuk membuat promosi-promosi untuk meningkatkan okupansi mereka.

Jika berkembang lebih luas lagi dari ASEAN, ke seluruh Asia, akankah masuk ke India juga?

Kaneswaran:

Tidak akan masuk ke India karena pasarnya sudah tak menarik. Pemain mereka ada lima-enam, seperti Oyo Rooms, ZO Rooms.

Ke Tiongkok juga tidak karena di sana banyak jaringan hotel budget, sekitar 1000-2000 jaringan hotel, jadi tak bisa unggul di Tiongkok. Seperti menggarami laut. Australia juga banyak jaringan hotel budget.

Jadi dari ASEAN, langkah selanjutnya ke Amerika Latin, sebelum akhir tahun ini. Peru, Argentina, atau Brazil tak banyak jaringan hotel. Setelah itu Jepang dan Hongkong.

(sil)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER