Buku Mewarnai, Seimbangkan Logika dan Rasa

Endro Priherdityo | CNN Indonesia
Jumat, 15 Apr 2016 04:45 WIB
Aktivitas mewarnai untuk orang dewasa lazim dilakukan untuk tujuan tertentu, dan ini tergolong sebagai terapi melalui seni.
Ilustrasi Mewarnai. (KarinaUrmantseva/Thinkstock)
Jakarta, CNN Indonesia -- Dalam setahun terakhir, terjadi keranjingan baru bagi orang dewasa, bukan hanya di Indonesia, tapi juga di dunia. Keranjingan baru itu bernama buku mewarnai untuk dewasa.

Pada 2014 lalu, laman penjualan daring Amazon mencatat bahwa buku terlaris bukanlah novel roman ataupun petualangan remaja sejenis Harry Potter, tapi justru buku mewarnai berjudul Secret Garden. Buku yang hanya berisi gambar flora dan fauna karya Johanna Basford itu terjual hingga 1,4 juta kopi di seluruh dunia.

Tren buku mewarnai pun merambah ke seluruh dunia. Bahkan untuk majalah mode dunia sekelas Vogue, juga ikut-ikutan. Beberapa waktu lalu, Vogue mengeluarkan Vogue Colors A to Z untuk dewasa berisi 26 sampul ikonik Vogue dari 1912 hingga 1932.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Indonesia tak ingin ketinggalan. Pada Selasa (12/4) lalu, penyair senior Indonesia, Sapardi Djoko Damono mengeluarkan buku mewarnai berjudul Hujan Bulan Juni. Buku yang dikerjakan oleh 19 ilustrator Institut Kesenian Jakarta itu berisi gambar intepretasi karya Sapardi yang dapat diwarnai para penggemarnya.

Namun sebenarnya buku mewarnai untuk dewasa ini bukan hal yang asing dalam dunia psikologi. Dalam ilmu kejiwaan, aktivitas mewarnai untuk orang dewasa lazim dilakukan untuk tujuan tertentu, dan ini tergolong sebagai terapi melalui seni.

"Teorinya, terapi mewarnai ini menyeimbangkan kembali antara rasio dengan emosi seseorang,” kata Vierra Adella, dosen dan praktisi psikologi Universitas Atma Jaya, ketika berbincang dengan CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.

Rutinitas harian yang biasa dilakukan disebut Vierra dapat menyebabkan seseorang 'terjebak' pada logika dan lupa memberikan ruang bagi emosi atau rasa. Dengan buku mewarnai ini, seseorang ibarat melakukan sebuah tugas namun memiliki efek terapi.

Teknik mewarnai ini mirip dengan tes pengujian karakter seseorang ketika diminta menggambar sesuatu. Namun, dalam mewarnai, seseorang diberi 'batasan' berupa bentuk yang harus diberi warna.

"Nah penilaian terhadap seseorang dewasa ini berdasarkan warna yang ia pilih. Dalam pelaksanaanya, ada yang merasa bebas dan nyaman melakukan, ada juga yang tidak," kata Vierra. "Terlihat berbeda antara anak-anak dan dewasa ketika melakukan aktivitas mewarnai."

Vierra menceritakan, dalam sebuah proyek mewarnai yang dikerjakan seorang ayah dengan anaknya secara bersamaan, meski memiliki bentuk atau ruang mewarnai yang sama, pemilihan warna keduanya amatlah berbeda.

Orang dewasa cenderung memilih warna yang realis atau semirip mungkin dengan bentuk asli, misal bentuk daun akan selalu diberi hijau. Sedangkan pada anak-anak, daun dapat berarti banyak warna, entah hijau, biru, ataupun ungu.

"Ketika seseorang berani memilih warna yang terang, seperti merah, hijau, biru, atau warna-warna yang berseberangan, itu berarti berani keluar dari zona nyaman," kata Vierra. "Karena rutinitas membawa seseorang cenderung memilih warna yang tidak bertabrakan."

Umumnya di awal terapi, seseorang masih terjebak dengan pakem tertentu. Namun bila dilakukan secara intensif, akan mulai terlihat menjadi otentik dan berani keluar dari zona yang biasa.

Karena seni dan kreativitas adalah hal yang otentik, maka buku mewarnai berguna untuk mengangkat keorisinalitas diri. "Buku mewarnai itu seperti ruang yang bebas buat seseorang menunjukkan dirinya sendiri," ujar Vierra.

(sil/sil)
ARTIKEL
TERKAIT
REKOMENDASI
UNTUKMU LIHAT SEMUA
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER