Raja Ampat, CNN Indonesia -- Wajah Yesaya Mayor memancarkan ekspresi ceria. Jemarinya memainkan gitar. Satu memetik, satu lagi berpindah-pindah kunci. Melodinya mengiringi tarian Randak Masok yang dipentaskan sekelompok anak lokal.
Tarian tradisional itu biasa disuguhkan kepada tamu yang baru pertama kali menginjakkan kaki di Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat. Kali ini, CNNIndonesia.com jadi salah satu tamunya.
"Di sini anak-anak kami sangat senang menari dan menyanyi. Di desa saya tinggal, menari dan menyanyi sudah merupakan bagian dari keseharian kami," kata Yesaya, pemuda kampung Sawinggrai, di tengah aksi gitarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yesaya bukan hanya pengiring tari. Sepanjang hidup ia memang biasa menghabiskan waktu mengajarkan seni dan budaya kepada anak usia dini di Desa Sawinggrai, satu dari 120 desa di Raja Ampat. Lokasinya tidak jauh dari Pulau Mansuar, tempat resor wisata langganan wisatawan mancanegara berdiri di atasnya.
Ia senang kini wilayahnya sudah tersohor ke berbagai belahan dunia. Namun, ada satu hal yang ia khawatirkan seiring meroketnya popularitas gugusan pulau di sebelah barat kota Sorong yang memang sangat indah itu.
Katanya, itu berkaitan erat dengan kebudayaan setempat. Dengan karakter yang kental akan seni tradisional, Yesaya khawatir saat Pemerintah Daerah punya keinginan mengubah wajah kampung demi menarik lebih banyak lagi jumlah wisatawan.
"Saya tak terima hal itu. Karena dengan demikian, semakin budaya asing masuk ke sini, maka budaya asli kami bisa saja semakin tergerus hanya karena komersialisasi."
Sebagai pengajar seni Yesaya merasakan betul, memperkenalkan budaya asli Raja Ampat ke generasi muda bukanlah proses gampang. Anak-anak muda sudah terinfiltrasi budaya asing sejak lama. Seni tradisional tidak lagi menarik bagi remaja-remaja Raja Ampat.
Budaya asing yang dimaksud Yesaya bukan hanya dari mancanegara. Beberapa pulau di sana juga sudah dikelola dengan sistem budaya asal daerah lain seperti Maluku dan Ternate. Menurutnya, itu bukan budaya asli.
"Padahal Raja Ampat itu istilahnya 'tumpahan surga,' diberkati dengan alam yang indah dan kebudayaan yang istimewa," ujarnya.
Yesaya bukannya menentang kemajemukan. Ia memahami itu bagian dari kekayaan budaya. Asal budaya aslinya jangan sampai hilang.
Selama ini Yesaya mengajar seni musik dan budaya tradisional kepada anak-anak Raja Ampat di rumahnya. Belakangan ia punya tempat baru, sebuah rumah seni sumbangan salah satu perusahaan negara. Diinisiasi sejak 2013 dan tuntas pada 2015, bangunan itu baru bisa digunakan Yesaya tahun 2016 ini.
 Yesaya Mayor, pelestari seni dan budaya di Sawinggrai, Raja Ampat. (CNN Indonesia/Galih Gumelar) |
Anak-anak didik Yesaya pun punya tempat latihan yang lebih luas dan mumpuni. Alat musiknya lengkap, modern dan tradisional.
"Bagi saya, ini bukan sekadar bangunan seni biasa, melainkan tempat di mana saya menyerahkan estafet pelestarian kebudayaan asli kami ke generasi mendatang," katanya.
Kalau tampil di luar pulau untuk acara seni seperti di Jayapura dan Jakarta sudah hal biasa bagi Yesaya, dengan adanya rumah seni itu ia berharap menjangkau pentas berskala besar.
Bukan hanya itu, Yesaya, anak-anak Raja Ampat, dan perusahaan negara penyumbang rumah seni juga ingin wisatawan mampir di wilayah barat Indonesia itu bukan hanya terpukau alam bak surganya. Seni dan budaya juga bisa menjadi salah satu daya tariknya.
(rsa)