Rantepao, CNN Indonesia -- “Saya lahir di kebun kopi. Tidak sedikit orang Toraja sukses menjadi sarjana di perantauan karena kopi.”
Perkataan tersebut disampaikan Yosep Pale Limbongan kepada
CNNIndonesia.com, akhir April lalu. Ia memundurkan ingatannya ke periode 1980-an ketika masyarakat di desanya giat menanam kopi.
Mantan Kepala Desa Sa’dan Matallo, Kecamatan Sesean Suloara, Tana Toraja, itu berkata, anak-anak para petani kopi di daerahnya pasti bergelar sarjana.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun ingatan Yosep itu tidak lagi serupa dengan kenyataan kini. Harga kopi yang terus menurun membuat para kerabatnya beralih menanam sayur dan padi.
Dalam setahun, panen padi berlangsung dua kali, tidak seperti kopi yang berharga rendah dan musim panennya cuma sekali dalam 12 bulan.
Keluhan serupa diutarakan Simon, warga Sa’dan Matallo yang tak lagi menjual kopi karena harganya turun. Sejak 2011, dia bekerja di kantor Kecamatan Sesean Suloara sebagai petugas kebersihan, sambil sesekali menjadi pemandu wisata.
Simon menuturkan, meskipun tidak menjadikan kopi sebagai sumber keuangan utama, dia dan keluarganya masih memelihara sepetak kebun kopi. Pada Juli nanti, Simon akan memanen kopi-kopi tersebut.
Untuk pemberdayaan dan mendapat penghasilan yang lebih baik, petani kopi didorong untuk lebih dekat dengan pembeli. Pemerintah juga mulai memperhatikan nasib petani seperti diucapkan Bupati Toraja Utara Kalatiku Paembonan, “Saya tahu ada teknologi yang memungkinkan kopi dapat dipanen lebih cepat. Jadi setahun mereka bisa panen dua kali.”
Memicu PerangAntropolog sekaligus pakar sejarah Indonesia dan Asia Tenggara modern, Terance William Bigalke, mencatat, masyarakat Toraja telah mengenal tanaman kopi sejak awal abad ke-17.
Bigalke menuliskan fakta tersebut dalam buku berjudul
Tana Toraja: A Social History of An Indonesian People (2005), merujuk pada kesaksian seorang Belanda bernama Van Dijk.
Sebelum membuka perkebunan kopi di Pegunungan Rantekarua (kini masuk wilayah Makale, Tana Toraja) pada abad ke-20, Van Dijk menemukan pohon kopi berusia sekitar 200 tahun di Desa Sa'dan (sekarang bagian dari Toraja Utara).
Menurut Bigalke, jika perkiraan Van Dijk benar, masyarakat Toraja berarti mengenal kopi dari para saudagar Arab yang berlayar dari Jawa. Para pedagang Arab tercatat masuk ke kawasan selatan Sulawesi pada awal abad ke-17.
Periodesasi itu tidak berselang jauh dengan perkenalan masyarakat Ceylon, Sri Lanka, terhadap tanaman kopi. Kongsi Dagang Belanda di Hindia Timur (VOC) membawa kopi ke kawasan Hinda Pasifik itu pada 1658.
Bigalke lantas melacak hubungan antara saudagar Arab dan pengetahuan masyarakat Toraja atas kopi.
Pertengahan milenium pertama, penduduk di kawasan barat daya Etiopia dan Yaman menyebut kopi dengan istilah
kaffa. Sekitar seabad setelahnya, masyarakat Eropa menyebut
kaffa sebagai
coffee.
Sementara itu, untuk merujuk tanaman bervarietas
rubiaceae tersebut, masyarakat Arab menyebut terminologi
qahwah.
Menurut Bigalke, masyarakat Bugis yang mengenal kopi dari saudagar Arab kemudian melekatkan istilah kawa untuk tanaman kopi. Di sisi lain, masyarakat Toraja yang tidak mengenal konsonan q dan w, mengadopsi istilah
qahwah dengan terminologi
kaa.
 Simon, warga Desa Sa'dan Matalo, Toraja Utara, tak lagi menanam kopi karena harganya rendah. (CNN Indonesia/Abraham Utama) |
Sejak 1860-an, biji kopi di dataran tinggi Toraja diinginkan dua kutub yang saling berseberangan. Dua pihak itu adalah pedagang di Palopo, Kerajaan Luwu, yang berada di utara Toraja dan saudagar di Pare-Pare, Kerajaan Sindreng, berlokasi di selatan Toraja.
Di Palopo, distribusi kopi dipegang saudagar Arab bernama Said Ali. Dalam menjalankan bisnisnya, ia bekerja sama dengan penguasa lokal Toraja, yakni Pong Tiku dan Pong Maramba.
Biji kopi sempat menjadi komoditas yang sangat mahal di selatan Sulawesi pada akhir abad ke-18. Biji yang juga disebut sebagai emas hitam itu pada 1889 memicu pecahnya Perang Kopi di Toraja.
Kerajaan Sindreng yang mayoritas bersuku Bugis merangsek ke Toraja dengan kekuatan militer. Tujuan serangan itu adalah mengalihkan distribusi kopi Toraja yang dikendalikan pedagang Palopo ke pelabuhan Pare-Pare yang mereka kuasai.
Bigalke menulis, ketika perang berkecamuk, Sindreng mampu melemahkan Said dengan merebut kepercayaan Pong Tiku.
Perang Kopi berakhir dengan kemenangan Sindreng, tatkala pada 1906 pemerintah kolonial menancapkan pengaruh politik mereka di dataran tinggi Toraja. Di akhir perang itu, perdagangan kopi sudah beralih ke Pare-Pare.
Sejak Perang Kopi, industri kopi di Toraja terus bergulir. Van Dijk membuka perkebunannya hingga di pertengahan dekade 1950-an, kebijakan nasionalisasi aset asing diberlakukan pemerintah Orde Lama.
 Luwak yang dipelihara PT Sulotco Abadi Jaya untuk produksi kopi luwak arabika. (CNN Indonesia/Abraham Utama) |
Saat perang gerilya Kahar Muzakar melawan ABRI meletus pada dekade 1950-an, arus distribusi kopi Toraja sempat tersendat.
Tak semua pengepul kopi dapat membawa kopi Toraja ke Pasar Kalosi di Enrekang. Hanya yang punya kekerabatan dengan Kahar Muzakar saja yang diperbolehkan melewati kawasan DI/TII, lalu melanjutkan perjalanan ke Kalosi
Bekas lahan perkebunan milik Van Dijk belakangan diberdayakan oleh PT Sulotco Jaya Abadi dengan status lahan hak guna usaha dari pemerintah. Pada 1987, pembersihan kebun dimulai.
Sejak saat itu pula, PT Sulotco Jaya Abadi menjadi satu dari dua perusahaan yang mengusahakan ladang kopi di Toraja. Sebelumnya, pada 1976, PT Toarco Jaya lebih dulu membuka kebun di Pedamaran, Tana Toraja.
Dua korporasi itu hanya menanam kopi arabika dan kini mulai terkenal atas produk kopi luwak arabika mereka.
(sil/sil)