Jakarta, CNN Indonesia -- Nasionalisme Soekarno memang tidak diragukan. Sosoknya digambarkan sebagai pencinta seni budaya, tak terkecuali kuliner Indonesia.
Suatu kali, dia meminta istrinya, Hartini, untuk mengumpulkan ahli gizi, pamong praja dari berbagai daerah untuk meramu buku Mustika Rasa.
"Kala itu, untuk Soekarno, menganggap serius kuliner Indonesia," kata sejarawan JJ Rizal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sayangnya, dokumentasi ini tak lagi dilanjutkan di masa-masa pemerintahan presiden berikutnya. Indonesia tak lagi memiliki dokumentasi khusus soal kuliner tradisional lagi.
"Makanan Indonesia masih diabaikan oleh negara. Kebutuhan manusia itu kan sandang, pangan, dan papan," ucap Rizal.
Senada dengan Rizal, Santhi Serad, pengamat kuliner sekaligus pendiri komunitas Aku Cinta Makanan Indonesia (ACMI) mengungkapkan bahwa negara memang belum melakukan dokumentasi khusus soal kuliner.
"Sampai saat ini ketika ada tamu-tamu kenegaraan mereka disajikan makanan yang kebanyakan bukan makanan Indonesia. Selain itu, tak ada bagian khusus di pemerintahan yang memang mengurusi tentang kuliner negara," kata Santhi.
"Saya mendambakan Indonesia punya
chef yang dibawa ke mana-mana oleh presiden sehingga bisa membawa makanan Indonesia keluar negeri juga."
Pendokumentasian kuliner Indonesia kemudian dianggap penting karena lewat makanan, Indonesia bisa melakukan diplomasi. "Kuliner adalah bagian dari politik kebudayaan. Kedaulatan pribadi Indonesia, dan kuliner adalah salah satunya. Dulu, negara menjadikan ini sebagai sesuatu yang serius, tapi kemudian dilupakan," ujar Rizal.
"Makanan itu bisa jadi tulang punggung untuk Indonesia. Kita makin kehilangan dan punya banyak kerinduan untuk menyerukan makanan khas Indonesia, tapi tak ada upaya nyata untuk mendokumentasikannya."
Diakui dia, pendokumentasian kuliner bukan sekadar untuk upaya pelestarian. Namun pendokumentasian ini juga dilakukan sebagai upaya untuk mengatasi masalah pangan lain.
"Dulu dengan pencatatan Mustika Rasa, di tahun 60-an, Soekarno bisa tahu berapa kebutuhan konsumsi beras per kapita. Dulu beras itu jadi persoalan, kalau impor beras tak cukup, negara pasti kacau. Sehingga dengan pendokumentasian kuliner khas, bisa dicari alternatifnya yang juga bergizi."
"Ketika tak ada dokumentasi, jangan marah dan panik kalau makanan Indonesia tiba-tiba direbut negara lain."
(vga)