Jakarta, CNN Indonesia -- Kesehatan gigi dan mulut tentu penting bagi setiap orang. Selain berdampak pada estetika, kerusakan gigi juga bisa berakibat pada tumbuh kembang seseorang, terlebih anak-anak.
Hal ini disampaikan oleh Dr. Eva Fauziah, selaku Ketua Ikatan Dokter Gigi Anak Indonesia Cabang Jakarta, belum lama berselang di Jakarta.
Untuk itu, Eva menyampaikan bahwa memeriksakan kebersihan gigi dan mulut sejak usia dini penting adanya. Jika orang dewasa disarankan untuk ke dokter gigi setiap enam bulan sekali, maka lain halnya dengan anak-anak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Paling tidak tiga bulan sekali atau empat bulan sekali, karena anak masih dalam tahap tumbuh kembang. Ini sangat dianjurkan agar dokter bisa melakukan tindakan preventif pada anak jika teridentifikasi adanya masalah gigi," katanya.
Khususnya pada anak-anak, kerusakan yang kerap terjadi adalah karies (gigi berlubang) dan maloklusi.
Karies sendiri terdiri dari dua jenis: karies susu botol yang biasanya terjadi pada anak usia di bawah tiga tahun, dan karies rampan pada anak usia di atas tiga tahun.
Sedangkan maloklusi adalah susunan tak beraturan dari gigi. "Bisa gigi depan terlalu maju atau
crossbite, gigi bawah lebih maju ketimbang gigi atas," jelas Eva.
Tentu kerusakan itu tidak terjadi begitu saja. Terdapat tujuh kebiasaan buruk yang seringkali dilakukan oleh anak.
Orang tua kerap membiarkan anak meminum susu dari botol dot, terutama pada malam hari. Padahal hal tersebut bisa membuat gigi anak berlubang dan juga maloklusi. Sebab aliran saliva pada mulut berkurang sehingga tidak ada cairan pembersih mulut.
Eva menuturkan, "Saat menyusu melalui botol, mulut akan tertutup. Lidah juga akan menutup gigi bagian bawah. Sehingga gigi atas dan geraham belakang akan terendam oleh susu."
Proses tersebut, kata Eva, dibiarkan begitu lama oleh orang tua hingga si kecil tertidur. Akibatnya, akan membentuk karies secara bertahap.
Mula-mula akan ada garis putih pada labial dan palatal gigi. Jika dibiarkan maka email dan dentin gigi akan semakin rusak. Lama-kelamaan gigi akan semakin terkikis hingga akhirnya bisa menganggu aktivitas tidur dan makan.
Kerusakan ini tentu bisa dicegah dengan beberapa cara. Misalnya, dengan meminum air putih setelah susu, dan tentu saja tidak membiasakan anak minum susu melalui botol dot.
Eva berkata, "Jika anak sudah memasuki usia dua tahun, upayakan meminum susu dari gelas, sedotan, atau sendok. Kalau terlalu lama menggunakan dot, akan susah dilepas (dotnya)."
Hal ini membuat derajat keasaman yang ada pada rongga mulut meningkat, sehingga memicu terbentuknya plak pada gigi dan produksi asam oleh bakteri juga semakin sering.
Selain itu, email gigi juga menjadi rentan terhadap gigi berlubang. Sebaiknya orang tua membatasi konsumsi makanan dan minuman manis kepada anak.
Mengemut atau menyimpan makanan di rongga mulut dalam waktu yang lama bisa memicu gigi berlubang.
Ini terjadi karena saat mulut tertutup, produksi saliva akan berkurang. Padahal masih ada karbohidrat yang tersisa di dalam mulut sehingga bakteri akan memfermentasikannya menjadi asam.
Untuk itu, penting bagi orang tua memberikan makanan padat sesuai tahap perkembangan usia anak. Misalnya, dengan membuat makanan yang tidak terlalu lembut atau bertekstur.
Lebih lanjut lagi, hal ini bisa merangsang proses tumbuh kembang rahang dan gigi. Para orang tua biasanya membiarkan anak melakukan ini lantaran membuat anak merasa nyaman dan tidak rewel. Rupanya, kebiasaan tersebut bisa memengaruhi kontur rahang atau terjadinya maloklusi.
Tentu saja ini akan berpengaruh pada proses mengunyah makanan. Penting bagi orang tua untuk segera melarang anak memasukkan ibu jari atau jari lain pada mulut.
"Kalau bisa, langsung ditepis [perlahan] saja," papar Eva.
Selain memengaruhi kontur rahang, kebiasaan menggigit benda keras juga bisa membuat gigi mengalami fraktur atau keretakan.
Biasanya, anak yang gemar menggigit-gigit benda akan mengalami crossbite, yaitu posisi gigi bawah yang lebih maju ketimbang gigi atas.
"Bisa satu gigi saja, atau yang lebih parah seluruh gigi bawah," kata Eva. Tak hanya itu, bakteri yang ada pada pensil atau kuku bisa tertelan dan menyebabkan infeksi pada pencernaan.
Untuk menghindarinya, orang tua bisa terus mengingatkan anak agar tidak memasukkan benda asing selain makanan dan minuman ke dalam mulut.
Cara lain adalah dengan mengaja anak bermain atau melakukan kegiatan lain sebagai bentuk pengalihan fokus pada anak.
Sebanyak 77,1 persen orang Indonesia hanya menyikat gigi saat mandi pagi dan mandi sore. Padahal waktu yang tepat untuk menyikat gigi adalah setiap selesai makan dan sebelum tidur.
Hal ini bisa mengurangi risiko gigi berlubang sebanyak 50 persen. "Dan yang terpenting, setelah sikat gigi sebelum tidur, jangan ada makanan lagi yang masuk ke dalam mulut," ujar Eva.
Selain waktu yang tepat, cara menyikat gigi pun harus benar.
"Yaitu dari arah gusi ke gigi. Sehingga tidak mengikis gusi. Kalau [menyikat] gigi atas, berarti dari atas ke bawah. Kalau [menyikat] gigi bawah, berarti dari bawah ke atas. Kemudian untuk gigi geraham, harus disikat permukaannya," jelas Eva.
Sejak anak masih berusia dini, seharusnya orang tua sudah membiasakan untuk berkunjung ke dokter gigi agar anak terbiasa hingga dewasa.
Berdasarkan Survey Nasional yang bekerja sama dengan Pepsodent, PDGI, dan IPKESGIMI pada 2015-2016, sebanyak 60,4 persen orang tua akan mengajak anak ke dokter gigi jika terjadi masalah pada gigi si anak.
Terakhir, Eva berpesan, "Di usia tiga sampai enam tahun, orang tua harus megenali dan mencegah kebiasaan-kebiasaan tersebut, dan yang paling penting: melakukan kunjungan rutin ke dokter gigi."
Eva turut menyarankan agar orang tua menemani anak saat proses menyikat gigi.
"Orang tua harus mengecek cara menyikat gigi si anak. Apakah sudah bersih atau belum. Kalau perlu, orang tua meyediakan timer selama dua menit. Jadi selama dua menit tersebut, anak tidak boleh berhenti menyikat gigi. Jika masih kotor, maka orang tua harus bantu menyikat."