Batik, Kiprah Sang Penggawa vs Ketidakpahaman Awam

Vega Probo | CNN Indonesia
Minggu, 02 Okt 2016 08:37 WIB
Pengusaha batik, juga awam, perlu mengetahui seluk beluk batik, baik tentang motif, filosofi, maupun teknik pewarnaannya.
Ragam batik di pameran Inacraft (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pada hari ini, Minggu (2/10), yang bertepatan dengan Hari Batik Nasional, agaknya banyak orang akan mengenakan busana batik, atau bahkan memborong batik, sebagai bentuk apresiasi.

Euforia ini makin kentara sejak Pemerintah menetapkan 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional berdasarkan keputusan UNESCO yang memasukkan batik dalam Daftar Representatif Budaya Tak Benda Warisan Manusia. Penetapan itu dibarengi saran mengenakan batik.

Badan PBB yang membidangi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan ini secara resmi mengakui batik Indonesia sebagai warisan budaya dunia, pada 2009. Ini berarti kalangan internasional mengakui batik sebagai bagian budaya Indonesia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kantor Berita Antara ketika itu melansir, “UNESCO memasukkan Batik Indonesia ke dalam Representative List karena telah memenuhi kriteria, antara lain kaya dengan simbol-simbol dan filosofi kehidupan rakyat Indonesia; memberi kontribusi bagi terpeliharanya warisan budaya tak benda pada saat ini dan di masa mendatang.”

Batik memang lekat dengan kehidupan rakyak Indonesia, terutama di Jawa. Sejak lebih dari empat abad lalu, industri batik telah bergeliat di Jawa Tengah, tak terlepas dari pengaruh Keraton Surakarta dan Yogyakarta. Motif batik yang khas pun melegenda.

Memasuki abad ke-20, menurut laman Batik Foundation, “Batik telah memasuki era industrialisasi dan terbentuknya kelompok-kelompok para pedagang.” Dari sini, lahirlah para penggawa batik. Sebut saja, Danar Hadi, Batik Keris dan Parang Kencana.

Kiprah para penggawa tidak sekadar membuat batik tulis dan batik cap secara berkelanjutan. Lebih dari itu, mereka juga melebarkan sayap dengan membuka banyak cabang toko di seluruh Indonesia, juga mancanegara. Kiprah mereka dilandasi filosofi mendalam.

“Menjalankan sebuah usaha, dalam hal ini pembatikan, haruslah dikerjakan dengan tekun, ulet, mencintai bidang yang kita tekuni tersebut,” kata Santosa Doellah, pendiri Dana Hadi yang berpusat di Solo, kepada CNNIndonesia.com via surel, baru-baru ini.

Pelaku usaha pembatikan, menurut Santosa, “wajib mengetahui seluk beluk batik, baik tentang motif, filosofi, maupun teknik penyogaan atau pewarnaannya.” Pengetahuan ini bukan semata monopoli pengusaha batik, melainkan juga perlu dipahami awam.

Bila awam tidak memahami seluk beluk batik, maka mereka bakal asal-asalan membeli dan memakai batik. Padahal sejatinya batik orisinal dibuat dengan proses panjang, menggunakan malam dan canting. Namun mereka tidak mengetahui dan memahami itu.

“Batik [orisinal] harus dibuat dengan teknik malam dan canting,” kata pegiat fesyen dan batik Anton Diaz kepada CNNIndonesia.com via telepon, belum lama berselang. “Kalau yang [harganya] murah, yang di-print, itu bukan batik [tulis], tapi kain dengan motif batik.”

Anton pun menyesalkan awam yang membeli batik buatan China atau Taiwan lantaran berharga murah. Padahal itu jelas-jelas bukan batik [tulis] orisinal khas Indonesia. Apalagi, kata mantan Pemimpin Redaksi Majalah Clara ini, “warnanya semena-mena.”

Maka sepatutnya orang Indonesia memahami seluk beluk batik orisinal, bukan asal membuat atau membelinya. Ketidakpahaman itu, diibaratkan Anton, bagai seseorang yang membuat sesuatu tanpa mengetahui caranya. “Tidak ada nyawanya,” kata Anton.

Agar ketidakpahaman tentang batik orisinal tidak semakin berlarut-larut, CNNIndonesia.com menyajikan Fokus spesial Hari Batik Nasional, pada hari ini (2/10). Sekaligus mengenalkan beberapa penggawa batik, juga sang ‘rookie’ yang sedang naik daun.

(vga/vga)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER