Lesthia Kertopati
Lesthia Kertopati

Hari Ibu dan Makna Historis yang Luntur

Lesthia Kertopati | CNN Indonesia
Kamis, 22 Des 2016 22:20 WIB
Setiap tanggal 22 Desember, Indonesia merayakan Hari Ibu. Namun, ada makna yang lebih dalam dibanding sekadar mengungkapkan kasih sayang pada ibu.
Setiap tanggal 22 Desember, Indonesia merayakan Hari Ibu. Namun, ada makna yang lebih dalam dibanding sekadar mengungkapkan kasih sayang pada ibu. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Setiap tanggal 22 Desember, linimasa media sosial sontak akan dibanjiri berbagai pesan kasih sayang pada ibu. Semua berlomba-lomba menunjukkan apresiasi dan rasa cinta mereka pada sang tokoh sentral dalam keluarga.

Mulai dari memberi bunga, mentraktir ibu makan malam mewah, memberi kado spesial, hingga mengajak ibu berlibur.

Padahal, unjuk kasih sayang pada ibu, tidak melulu harus dilakukan pada tanggal 22 Desember.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jika menelusuri kembali sejarah Indonesia, ada alasan tersendiri mengapa tanggal 22 Desember ditetapkan sebagai Hari Ibu.

Presiden Soekarno meresmikan tanggal tersebut sebagai Hari Ibu Nasional melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1953, bersamaan dengan ulang tahun ke-25 Kongres Perempoean Indonesia I.

Kongres Perempoean Indonesia I itu sendiri digelar pertama kali pada tanggal 22-25 Desember 1928, hanya beberapa bulan berselang dari Kongres Pemoeda yang melahirkan Sumpah Pemuda.

Pada waktu itu, sebanyak 30 organisasi wanita dari Jawa dan Sumatra berkumpul. Mereka bermaksud meningkatkan hak-hak perempuan di bidang pendidikan dan pernikahan.

Seperempat abad setelah itu, Presiden Soekarno memeringati ulang tahun Kongres Perempoean Indonesia I, dengan menetapkannya menjadi Hari Ibu Nasional.

Bukan semata-mata untuk mengapresiasi Ibu, melainkan merayakan semangat wanita Indonesia dan untuk meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara.

Tidak hanya itu, Hari Ibu Nasional juga menjadi cara memeringati pahlawan wanita Indonesia selain Kartini, seperti Martha Christina Tiahahu, Tjut Meutia, Maria Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Ahmad Dahlan, atau Rasuna Said.

Sejarah penetapan Hari Ibu di Indonesia, jelas berbeda dengan penetapan Hari Ibu di negara lain. Amerika Serikat pertama kali mengenal Hari Ibu pada 1908 guna mengenang kematian Ann Reeves Jarvis, seorang aktivis sosial, pendiri Mothers’ Day Work Clubs, dan penggagas gerakan perdamaian ibu-ibu di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, dan negara-negara lain di dunia, Hari Ibu merupakan hari libur nasional.

Namun kini, makna historis Hari Ibu seolah luntur. Digantikan bunga, cokelat, puisi dan kado.

Padahal, baik di Indonesia maupun Amerika Serikat, Hari Ibu menjadi simbol gerakan wanita untuk perubahan. Di Amerika, perubahan yang dimaksud adalah kesetaraan derajat dan hak dengan pria, sementara di Indonesia, melalui Kongres Perempoean Indonesia I, wanita mulai sadar berpolitik untuk kemajuan bangsa dan negara.

Hari Ibu merupakan latar belakang dan tonggak sejarah perjuangan kaum perempuan di Indonesia. Peringatan Hari Ibu, setiap 22 Desember, seharusnya menjadi motivasi bagi seluruh perempuan di Indonesia untuk memperbaiki kualitas bangsa.

Awalnya, peringatan Hari Ibu, tidaklah melalui taburan bunga dan kado. Di Solo contohnya, Panitia Hari Ibu pada 1953, menggelar Pasar Amal yang hasilnya digunakan membiayai Yayasan Kesejahteraan Buruh Wanita dan beasiswa untuk anak-anak perempuan. Mereka juga mengadakan rapat umum yang mengeluarkan resolusi meminta pemerintah melakukan pengendalian harga, khususnya bahan-bahan makanan pokok.

Sejarah mencatat bahwa Hari Ibu merupakan momentum guna mengenang heroiknya kaum perempuan.

Namun kini, makna heroik tersebut luntur. Hari Ibu menjadi perayaan peran perempuan di ranah domestik. Padahal seharusnya, Hari Ibu adalah perayaan perempuan sebagai Ibu Bangsa.

Tanpa mengecilkan peran ibu yang telah melahirkan, merawat dan membesarkan anak, Hari Ibu seharusnya jadi pengingat bahwa setiap perempuan di Indonesia punya tanggung jawab yang lebih dari sekadar urusan domestik.
LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER