'Benteng Terakhir' Dinasti Manchu di Tepi Cisadane
Sabtu, 28 Jan 2017 22:11 WIB
Di tepi Sungai Cisadane, tinggal etnis Tionghoa yang lebih akrab dengan sebutan China Benteng. Mereka menjadi fenomena budaya tersendiri di Indonesia. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Alkisah, menurut kitab sejarah Sunda yang berjudul Tina Layang Parahyang atau Catatan dari Parahyangan, keberadaan komunitas Tionghoa di Tangerang dan Batavia sudah ada sejak tahun 1407, atau awal abad ke-15.
Kitab itu menceritakan tentang mendaratnya rombongan pertama dari dataran Tiongkok yang dipimpin Tjen Tjie Lung alias Halung di muara Sungai Cisadane, yang sekarang berubah nama menjadi Teluk Naga.
Mereka datang menggunakan perahu sederhana untuk menjadi petani, buruh, pekerja, dan pedagang. Namun, hanya sedikit yang tahu bahwa mereka berasal dari Dinasti Qing alias bangsa Manchu.
“Akhirnya, orang-orang Tionghoa yang tinggal di dekat Benteng itu disebutnya China Benteng,"Oey Tjin Eng |
Pada waktu itu, tepi Cisadane sudah dikuasai Belanda. Di bantaran sungai itu dibangun benteng, yang sekaligus menjadi pertahanan terdepan Belanda di Pulau Jawa.
Catatan Donald E. Willmott dalam buku The National Status of the Chinese in Indonesia 1900-1958, menyebut, kedatangan bangsa Manchu di Cisadane, merupakan proyek pemerintah kolonial Belanda yaitu One harmony between 3 races, under one loyalty to the Dutch Colonial Empire.
Melalui proyek itu, pemerintah kolonial ingin menggabungkan tiga bangsa yaitu Tionghoa, Belanda dan Sunda-Betawi, menjadi satu etnis dengan komposisi 50 persen Tionghoa, 37,5 persen Sunda-Betawi dan 12,5 persen Belanda. Harapannya satu, ‘ras baru’ tersebut hanya akan loyal terhadap pemerintah Belanda.
Misi Belanda berhasil, di tepi Sungai Cisadane memang ‘lahir’ suku baru. Namun, bukan setia pada Belanda, mereka mencipta kesetiaan terhadap suku mereka sendiri, yang kini dikenal dengan nama Tionghoa Benteng.
Sebelum dikenal dengan nama China Benteng, pada tahun 1683, kawasan itu dikenal dengan nama Benteng Makassar, karena memang dibangun dan dijaga oleh orang-orang Makassar dan Bone. Tujuan dibangunnya benteng itu adalah untuk membatasi wilayah Kesultanan Banten dan Belanda, yang dipisahkan oleh Sungai Cisadane.
“Akhirnya, orang-orang Tionghoa yang tinggal di dekat Benteng itu disebutnya China Benteng," kata Oey Tjin Eng, Humas Klenteng Boen Tek Bio, klenteng tertua di kawasan Benteng yang telah berdiri sejak 1684 itu.
Enam abad berlalu, China Benteng telah menjadi fenomena budaya tersendiri di Indonesia. Setiap tahun, terutama saat Tahun Baru China atau Imlek, Pasar Lama Tangerang, yang menjadi pusat kawasan China Benteng berubah riuh rendah.
Terpinggirkan di Era Orde Baru
Tahun ini pun tidak berbeda. Saat CNNIndonesia.com berkunjung ke Pasar Lama, Tangerang, Selasa (24/1), suasana Imlek sudah terasa. Selain kue keranjang, pernak-pernik oriental lainnya seperti amplop angpau, lampion dan hiasan dinding bernuansa Imlek juga banyak diperdagangkan di Pasar Lama.
Bukan hanya area pasar yang ramai, klenteng pun terus padat pengunjung. Boen Tek Bio, klenteng yang menjadi ikon kawasan China Benteng, tidak berhenti disambangi orang yang datang untuk beribadah. Aroma dupa dan kepulan asap dari hio yang dibakar pun memenuhi ruangan utama klenteng.
"Ini belum terlalu ramai, biasanya sehari menjelang Imlek baru ramai,” kata Tjin Eng.
Pendapat Tjin Eng mendapat anggukan setuju dari Yayang (59), yang tampak sibuk mengatur dagangannya. Toko Yayang hanya berjarak satu meter dari klenteng Boen Tek Bio.
Wanita keturunan asli Tionghoa Benteng itu menjual berbagai aksesori wanita dan barang-barang kerohanian agama Buddha, seperti Jubah Kimsin.
Lihat juga:Hikayat Abadi China Benteng |
Yayang adalah salah seorang saksi perkembangan kaum Tionghoa di Benteng. Dia pernah merasakan tekanan pemerintah terhadap etnis Tionghoa di masa Orde Baru. Di masa itu, warga Tionghoa dibatasi secara politik, sosial bahkan budaya.
Yayang sempat mengalami kesulitan saat mengurus Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Dia harus berganti nama dari Song Sie Hiang, menjadi Yayang, yang hingga kini dia gunakan.
"Saya tidak banyak kesulitan urus SBKRI karena saya sudah ganti nama Tionghoa saya. Yang banyak kesulitannya saudara-saudara saya yang belum ganti nama," kata dia.
Di awal masa berkuasa, pemerintah Orde Baru memang menganjurkan seluruh warga Tionghoa mengganti nama Tionghoa menjadi nama ‘Indonesia’. Hal itu tertuang dalam Keppres No. 240 Tahun 1967 tentang Kebijaksanaan Pokok Yang Menyangkut Warga Negara Indonesia Keturunan Asing.
Tidak hanya nama warga, bahkan nama klenteng pun wajib berganti. Yayang menyebut klenteng Boen Tek Bio harus diubah menjadi Padumuttara.
Padahal, Padumuttara adalah nama Vihara di dekat Boen Tek Bio. Namun karena di era Orde Baru nama yang bernuansa Tionghoa tidak boleh ditunjukkan, sehingga nama Padumuttara pun dipakai untuk klenteng tersebut.
Selain soal nama, banyak kegiatan budaya Tionghoa yang juga dilarang muncul, termasuk atraksi liong.
“Di zaman Pak Harto, ada beberapa anak muda yang nekat mengeluarkan liong dari klenteng Boen Tek Bio. Mereka ingin mempertunjukan atraksi liong di luar klenteng. Tapi terus dilarang pengurus, karena takut bermasalah dengan aparat negara,” tuturnya.
Lain Yayang, lain pula Sumanggala. Pria Tionghoa Benteng asli berusia 65 tahun ini, pernah mengalami pahitnya kehidupan setelah Pemerintahan Orde Baru berkuasa.
Ketika itu, setelah meletus peristiwa Gerakan Satu Oktober 1965, terjadi pengganyangan terhadap sekolah-sekolah Tionghoa milik Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) karena dianggap komunis. Sekolah menengah pertama tempat Sumanggala mengenyam pendidikan, yang juga milik Baperki, pun ditutup paksa.
"Setelah itu saya tidak pernah sekolah lagi," kata Sumanggala, yang kini bekerja membersihkan Klenteng Boen Tek Bio.
Semua berubah saat Gus Dur terpilih menjadi Presiden.
"Tapi sejak zaman Presiden Gus Dur, budaya Tionghoa bisa bebas dipertunjukkan lagi," kata Yayang, yang merupakan keturunan kelima dari leluhurnya yang tinggal di kawasan Benteng.
Berdampingan dengan Etnis Lain
Terlahir sebagai orang Tionghoa di Indonesia, Yayang tidak merasa jadi kaum minoritas. Pasalnya, Yayang mengaku selalu diperlakukan sama.
Selama 59 tahun hidup di kawasan Benteng, Yayang tak pernah merasakan perlakuan tidak enak dari warga etnis lainnya. Justru hubungan antara warga Tionghoa dengan etnis non-Tionghoa, khususnya yang beragama Islam, di kawasan itu sangat baik.
"Karena memang masih ada hubungan kerabat juga dengan orang-orang Islam di sini. Mereka itu masih keturunan Haji Toha yang juga punya istri orang China Benteng," kata Yayang, sambil mengatakan kebanyakan orang Islam di dekat China Benteng berasal dari etnis Sunda.
Kedekatan hubungan itu juga lah yang membuat Yayang merasa aman saat Kerusuhan Mei 1998 meletus. Pada waktu itu, etnis Tionghoa menjadi target kemarahan warga Jakarta. Banyak toko milik warga Tionghoa dirusak dan dijarah, sementara wanitanya banyak diperkosa.
Di Benteng, warga Muslim menjaga pemukiman Tionghoa dan menjauhkan mereka dari kerusuhan.
"Jadi mereka (warga Muslim) menjaga kampung, kami memasak," ujar Yayang.
Hal serupa diucapkan Sarumanggala. Dia menyebut, jarang terjadi konflik di Benteng.
"Di sini seluruh penduduknya rukun tanpa pernah terjadi kerusuhan," sebut ayah empat anak tersebut.
Meski demikian, salah satu generasi muda China Benteng, Ester (14), mengaku warga di lingkungannya memang terkenal panasan.
"Mungkin karena terbawa suasana pasar, jadi ada orang-orang China Benteng yang mudah marah," kata Ester.
Penjaga Tradisi
Selama enam ratus tahun tinggal di tepi Sungai Cisadane, masyarakat Tionghoa Benteng tetap mempertahankan tradisi.
Mereka tidak melupakan garis darah bangsa Manchu dari Dinasti Qing, kendati kini mereka tidak lagi berbicara dalam bahasa China dan punya warna kulit yang cenderung gelap, dibandingkan warga keturunan Tionghoa lainnya di Indonesia.
Buktinya, bisa dilihat dari tradisi pernikahan mereka yang menggunakan upacara pernikahan gaya bangsa Manchu. Mereka juga mengenakan pakaian gaya Dinasti Qing seperti Manchu robe dan Manchu hat pada saat menikah.
Padahal, di China sendiri, upacara pernikahan gaya Dinasti Qing itu sudah hampir hilang dan sangat jarang ditemukan.
Selain itu, kesenian mereka juga melebur dengan budaya setempat dan mencipta kesenian campuran Betawi-Tionghoa, salah satunya cokek atau tarian berpasangan lelaki dan perempuan dengan iringan musik gambang kromong.
Peleburan budaya itu pun tercermin dalam cara mereka berpakaian. Pakaian adat pria berupa baju koko hitam dan celana panjang, dengan topi yang khas yang mirip dengan caping. Sedangkan pakaian adat wanita dinamakan hwa kun, yang berupa blus dan bawahan lengkap dengan hiasan kepala serta tirai penutup wajah.
Kaum wanita juga seringkali mengenakan kebaya encim, dengan aksen kembang goyang sebagai hiasan kepala, yang menunjukkan pengaruh Betawi dalam pakaian tersebut.
(les)
ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
Apa Efek Minum Air Kelapa Setiap Hari? Ini Hasilnya!
Gaya Hidup • 8 jam yang laluGejala Penyakit Ginjal Juga Bisa Muncul di Kulit, Ini 5 Tanda-tandanya
Gaya Hidup • 12 jam yang laluCoba 7 Cara Membakar Lemak Perut Ini Jika Kamu Ingin Cepat Langsing
Gaya Hidup • 12 jam yang laluFOTO: Kontes Binaraga ala Buruh Genting Jatiwangi Sambut HUT RI-80
Gaya Hidup • 10 jam yang laluSuami dan Kantor Ramah Ibu Menyusui Jadi Resep Sukses ASI Eksklusif
Gaya Hidup • 9 jam yang laluLAINNYA DARI DETIKNETWORK