Borobudur, Magelang, CNN Indonesia -- Sekitar pukul 9 pagi, suasana Pasar Borobudur terlihat ramai. Lalu lalang pembeli dan kesibukan pedagang di lapak jadi gambaran betapa sibuknya pasar tradisional ini. Seorang pemandu wisata di Desa Borobudur, Firmansyah, nampak memarkirkan sepeda gunungnya.
Hari itu, Jumat (14/4), ia menemani dua wisatawan mancanegara (wisman) asal Swiss, Severin dan Sina, untuk bersepeda di desa-desa sekeliling Taman Wisata Candi Borobudur (TWCB).
Sebelum masuk pasar, mereka diajak mencicipi jamu tradisional. Firman, begitu ia biasa dipanggil, menantang dua tamunya untuk memilih jamu dan harus meminumnya sampai habis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Severin menunjuk botol dengan jamu berwarna hitam, Jamu Brotowali. Sedangkan Sina memilih jamu berwarna hijau, Jamu Daun Pepaya.
Severin mengerenyitkan muka karena jamu yang diminumnya begitu pahit, tapi sambil bercanda Firman memintanya menghabiskan hingga tetes terakhir.
Usai menenggak tetes terakhir, Firman memberi Severin segelas Jamu Beras Kencur sebagai pereda rasa pahit. Keduanya lalu tertawa akrab.
"Oke, sebelum pergi ucapkan terima kasih pada ibu ini. Matur suwun, itu terima kasih dalam bahasa Jawa," kata Firman.
Firman dengan sabar mengajari tamunya untuk mengucapkan 'matur suwun' dengan benar. Beberapa kali belajar dan mereka mempraktekkannya langsung pada ibu penjual jamu. Saat berpamitan, Firman meminta tamunya mengucapkan kata 'monggo'.
 Sina dan Severin saat diajak Firman menyicipi jamu. (CNN Indonesia/Elise Dwi Ratnasari) |
"Monggo itu bisa digunakan dalam banyak situasi. Oh iya, jangan lupa tersenyum saat ketemu orang di pasar, dan ucapkan 'monggo'," ujar Firman.
Selain kedua kata itu, Firman juga mengajari mereka kata-kata yang digunakan dalam bahasa Jawa sebagai sebutan. ‘mbak', ‘mas', ‘mbah', ‘bu', sehingga saat mereka mengucapkan terima kasih, bisa langsung diikuti sebutan.
"Matur suwun, bu," kata Severin agak terbata pada seorang ibu penjual makanan ringan.
Firman pun meminta mereka untuk lebih memberikan 'nada' agar kata 'matur suwun' tidak terlalu datar. Selain itu, mereka diminta sedikit menganggukkan kepala.
Sepanjang perjalanan, kedua wisman ini selalu mempraktekkan apa yang sudah mereka pelajari. Bertemu orang di jalan mereka mengatakan 'monggo'. Tak lupa mengucapkan 'matur suwun' pada orang yang menemani mereka praktek menanam padi maupun saat praktek membuat gerabah dari tanah liat.
Hal-hal kecil yang diajarkan Firman membuat Severin dan Sina sebagai wisman semakin menyatu dengan warga lokal. Walau hanya beberapa kata, mereka begitu antusias. Sampai-sampai Sina mencatat kata-kata yang dipelajari dalam telepon genggamnya.
‘Wong londo ilang londone’ atau orang Belanda kehilangan identitas Belandanya. Kalimat pendek itu hanyalah humor yang sering diucapkan Firman saat mengobrol dengan warga lokal. Ia mengaku senang membuat tamunya menjadi 'warga lokal'.
 Firman dan Sina, salah satu wisman yang dipandunya. (CNN Indonesia/Elise Dwi Ratnasari) |
“Sebagai pemandu, saya suka jika tamu saya mencoba jadi orang lokal," kata Firman.
“Bagi mereka yang biasa hidup di dunia Barat, budaya menyapa jarang dilakukan, malah terasa aneh. Jadi, mereka sangat terkesan dengan budaya menyapa di sini,” lanjutnya.
Tak hanya bahasa, tapi ia juga mengajarkan filosofi Jawa. Misalnya, tentang padi, yang semakin berisi akan semakin menunduk, alias artinya semakin banyak ilmu semakin rendah hati.
Firman juga mendapat ilmu dari wisman yang dipandunya, mulai dari budaya sampai cara pikir penduduk di dunia Barat. Mereka yang mengunjungi Indonesia, lanjut Firman, rata-rata sudah pernah mengunjungi negara-negara lain sebelumnya.
'Pekerjaan Paling Enak Ialah Hobi yang Dibayar'Firman bergabung di klub Borobudur Adventure Club sekitar 3 tahun lalu. Klub ini menyediakan tur sepeda, salah satunya bersepeda dengan konsep menyatu dengan alam.
Dengan sepeda gunung, wisatawan dapat berkeliling sekitar kawasan candi sekaligus merasakan sensasi medan yang beragam.
Di klub ini juga, Firman bisa menyalurkan hobinya.
 Kegiatan tur sepeda yang dipandu Firman. (CNN Indonesia/Elise Dwi Ratnasari) |
"Soalnya pekerjaan yang enak itu adalah hobi yang dibayar," ujar lulusan Fakultas Ilmu Keolahragaan ini.
Selain tergabung di klub, ia juga memiliki usaha di bidang pariwisata, yakni agen perjalanan wisata.
Sebagai pemandu wisata, Firman harus pandai mengatur waktu dan berimprovisasi. Tak jarang ada wisatawan yang keasyikan saat berkegiatan sehingga tak ingin pulang.
Padahal, agen wisata sudah mengatur perjalanan mereka. Ketika satu jadwal 'molor', Firman bisa ditegur agen, kendati tamu membela. Kalau sudah begini, ia hanya bisa geleng-geleng kepala.
"Ada yang pas di sawah, dia teriak 'akhirnya nanam padi di Indonesia' terus keasyikan sampai tidak mau pulang,” kata Firman sambi tertawa.
Ia mengakui seluruh tamu puas dengan tur yang ditawarkannya. Tak hanya wisman, wisatawan lokal dan anak sekolah juga antre untuk bisa ikut tur semacam ini.
Mengubah Mental Warga LokalPotensi desa Borobudur begitu besar. Hal ini layaknya dibarengi dengan sumber daya manusia yang bagus.
Firman menilai, mental warga lokal juga harus dibenahi. Menurutnya, warga lokal harus punya pola pikir cara menerima wisatawan, agar mereka betah dan kembali datang. Jadi, bukan melulu soal uang.
“Masih ada yang kalau liat wisatawan, khususnya wisman, langsung minta uang. Padahal, kenyamanan mereka harus diutamakan agar bisa kembali datang. Urusan uang pasti akan datang dengan sendirinya,” ujar Firman.
Wisatawan menikmati pemandangan terasering sawah berundak di kawasan Ceking, Tegalalang, Gianyar, Bali. (ANTARA FOTO/Fikri Yusuf) |
Ia juga menambahkan, warga lokal juga harus cerdas dan kreatif dalam mengelola ‘keeksotisannya’, terutama jika bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dalam bisnis pariwisata.
Firman mencontohkan, warga lokal mungkin mulai bisa membuka tur menanam padi, yang sangat unik dan menarik bagi wisman. Tentu saja dengan acara dan harga yang jelas.
“Dari pengalaman saya dalam bisnis pariwisata, semakin unik atau aneh, justru wisatawan semakin suka. Ada banyak peluang yang bisa dikembangkan di negara dengan alam dan budaya yang kaya seperti Indonesia ini,” kata Firman.
(ard)