LAPORAN DARI LAMPUNG

Penduduk Sebesi Sehidup Semati Bersama Krakatau

Yuli Yanna Fauzie | CNN Indonesia
Minggu, 10 Sep 2017 15:10 WIB
Desa Sebesi bisa dibilang sehidup semati dengan Krakatau, karena letusan gunung itu pernah menewaskan seluruh penduduk desa ratusan tahun silam.
Ilustrasi. Desa Sebesi berada dekat dengan Gunung Krakatau. Setelah meletus, desa ini diberkahi dengan tanahnya yang subur. Namun, penduduknya tewas dihantam tsunami. (REUTERS/Lautaro Salinas)
Lampung, CNN Indonesia -- Muchtar (65) masih hafal betul tiap cerita dari kedua orang tuanya, tentang tanah kelahirannya, Pulau Sebesi di Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan puluhan tahun silam.

"Ya, cerita yang dulu, ya dengar dari orang tua. Kan saya baru lahir pada 30 Juli 1952," ujar Muchtar kepada CNNIndonesia.com, akhir Agustus lalu.


Meski hanya mendengar dan tak berdarah suku asli pulau ini, namun ia mengaku telah jatuh hati pada Sebesi, yang pernah tak berpenghuni lantaran cinta sehidup sematinya dengan Gunung Krakatau.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mei 134 tahun silam, Gunung Krakatau bergejolak. Puncaknya, 26-27 Agustus 1883, Krakatau membawa mati seisi Sebesi dengan tsunami setinggi 40 meter, yang muncul akibat letusan dan muntahan laharnya yang dahsyat.


Sekitar tiga ribu penduduk Sebesi, yang hanya berjarak sekitar 13 kilometer dari Krakatau, dinyatakan tewas. Bahkan, pemerintahan Hindia Belanda mencatat, jumlah korban letusan Krakatau mencapai 36 ribu, termasuk yang ada di pesisir Sumatera dan Samuedera Hindia.

Bencana besar itu, konon juga dirasakan oleh seisi dunia. Sebab, letusannya diperkirakan mencapai 30 ribu kali dari letusan bom atom di Horoshima dan Nagasaki, Jepang, yang dijatuhkan Amerika Serikat (AS) saat Perang Dunia II.

Suara letusannya hingga ke Afrika, debunya hingga ke Norwegia dan New York, serta getarannya terasa sampai Eropa. Bahkan, Krakatau membuat dunia redup lantaran debu vulkanisnya menutup atmosfer bumi.

Sekitar 44 tahun dari kisah Krakatau-Sebesi pada masa lalu, barulah muncul Gunung Anak Krakatau dari bawah laut. Ibarat seorang anak, ia terus bertumbuh, bahkan terus bertambah sekitar enam meter setiap tahunnya.

Penduduk Sebesi, Sehidup Semati Bersama KrakatauAnak Gunung Krakatau mengeluarkan asap dari kalderanya. (ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal)

Selang tiga tahun berikutnya, Sebesi juga mulai berpenghuni, seakan memulai kembali kehidupan yang pernah ada. Muchtar bilang, tepatnya pada 1932.

Bisa dibilang, banyak kisah yang membuat orang mulai datang dan membina hidup di pulau ini. Ada beberapa penduduk Lampung yang 'iseng' pergi berlayar ke Sebesi, namun tak sedikit yang sengaja, guna mencari penghidupan.

"Adapula orang dari Bima, Nusa Tenggara. Mereka berlayar dan terdampar di pulau ini. Ditolong, lama-lama ikut dengan warga, jadi berjodoh dengan orang sini," kisahnya.

Namun, yang kini mendominasi ialah penduduk dari Pulau Jawa, terutama Banten. Sehingga, pantas saja, bahasa sehari-hari di pulau ini mirip dengan logat bahasa Jawa, tapi disebut Jaseng, alias Jawa-Serang.

"Saat tahun 1988, itu hanya 700 orang. Sekarang sudah mencapai tiga ribu orang," katanya yang pernah menjabat sebagai Kepala Desa Sebesi pada 1988.

Setelah banyak orang berdatang dan membina keluarga, kini Sebesi telah 'hidup' kembali. Masyarakat mulai bercocok tanam, melaut, hingga membuat berbagai kerajinan.

Bahkan, Sebesi merupakaan lahan garapan yang subur. Tercatat, komoditas seperti kelapa, sawit, pisang, hingga kakao melimpah berbuah di pulau yang terletak di Selat Sunda ini.

Namun, kehidupan baru Sebesi tetap tak luput dari bayang-bayang masa lalu. Di kejauhan, masih berdiri dengan kokoh Gunung Anak Krakatau, yang diperkirakan masih akan meletus entah kapan waktunya.

[Gambas:Youtube]

Muchtar sendiri percaya, suatu saat pasti muntahan lahar dan letusan hebat akan terjadi. Tapi, ia meneguhkan dalam hati bahwa ia tak takut, apalagi hanya soal kematian.

"Jangankan Krakatau itu meletus. Kami duduk sehat saja, sebenarnya tidak ada yang tahu nyawa kami. Semuanya, langit, bumi, termasuk nyawa ini, itu biarkan terserah Allah," ucapnya.

Bahkan, ia mengaku lebih lega bila setiap bulan sekali mendengar letupan dan merasakan getaran dari aktivitas gunung itu. Ia bilang, itu justru pertanda baik.

"Kalau tidak hujan sebulan, itu pasti gempa saat malam, seperti kilat. Tapi tidak apa, lebih baik seperti itu. Justru kalau tidak aktif, itu lebih rawan meletus tiba-tiba," tambahnya.

Menurutnya, masyarakat Sebesi tetap akan setia hidup di sini, termasuk menjadi teman hidup bagi Gunung Anak Krakatau.

Harapannya, hanya satu. Krakatau tak membekas sebagai hal yang menakutkan di mata masyarakat luar.


Toh, Sebesi pun tak pernah takut. Justru, Gunung Anak Krakatau punya sisi cantik sebagai destinasi wisata, yang ke depannya diharapkan Muchtar mampu menjadi salah satu yang terbaik di Lampung.

"Inginnya menjadi daerah pariwisata. Sekarang sudah jadi cagar alam darat dan laut. Makanya kami jaga terus karangnya," pungkasnya.

(ard)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER