Jakarta, CNN Indonesia -- Vonis penyakit kanker terdengar begitu menakutkan. Bayang kematian seakan sudah dekat pada pasien. Hal ini makin diperkuat dengan data WHO pada 2003, bahwa kanker memang jadi penyebab kematian kedua setelah penyakit jantung.
Mereka yang datang untuk berobat, sekitar 33 persen sudah masuk stadium 3. Padahal, jika terdeteksi lebih dini, maka harapan untuk sembuh akan lebih besar. Siti Nurul Aisyiyah, dari Pusat Penelitian Kimia LIPI, mengatakan kanker membawa efek baik dari segi sosial maupun ekonomi pasien.
"Pasien terkuras secara ekonomi dan sosial karena treatment kanker," katanya saat presentasi proposal penelitian di Kemenristek Dikti, Senayan, Jakarta Selatan, Kamis (9/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lewat proposal berjudul "Pengembangan Nanopartikel Berfluoresens Berbasis Silika Alam Indonesia untuk Bioimaging Optik", Ais, panggilan akrabnya, ingin membuat sebuah alat deteksi kanker. Menurutnya, jika kanker terdeteksi lebih awal, maka beban ekonomi pasien akan lebih ringan.
Ia menjelaskan, prinsip risetnya ini ingin mengembangkan nanopartikel dengan bahan dasar silika yang mudah didapat di Indonesia. Kemudian, nanopartikel silika dimodifikasi menjadi fluoresence silica nanoparticle dan dikombinasi dengan biomolekul yang bisa mendeteksi kanker.
"Ke depannya, saya ingin alat itu bisa dibungkus menjadi sebuah alat yang bisa dipakai bahkan oleh nonmedis untuk deteksi dini kanker," kata Ais.
Lebih lanjut lagi ia menjelaskan, deteksi dini yang dimaksud ialah saat kanker baru menginja stadium 1 atau 2. Ais menggambarkan alatnya nanti akan seperti test pack yang umumnya dipakai untuk tes kehamilan. Jadi, tanpa injeksi, alat diharapkan mampu mendeteksi kanker lewat sampel tubuh baik urine, keringat atau darah.
"Sampel dari tubuh ini lalu taruh nanopartikel saya, kemudian alat glowing, oh ini ada indikasi kanker. Baru kemudian si pasien ini ke rumah sakit atau laboratorium untuk cek lebih detail," lanjutnya.
Biasanya, jika ada sel kanker yang tumbuh di tubuh manusia, maka terdapat biomolekul atau hormon tertentu yang konsentrasinya tiba-tiba naik. Nanopartikel berfluoresens ini akan bersinar saat bereaksi dengan biomolekul.
Alat akan memiliki on-off system karena fluoresens. Prinsipnya ada dua, yakni sensitif yang dipenuhi oleh fluoresens, artinya semakin tinggi fluoresens maka alat semakin sensitif. Kedua, selektif, artinya alat hanya berlaku untuk kanker tertentu.
"Sifat kanker itu berbeda-beda, tapi mungkin ada yang bisa dikelompokkan jadi satu. Nanti mungkin kami bisa mengembangkan detection kit untuk berbagai jenis kanker," katanya.
Ais menuturkan, penelitian kini memasuki tahap optimasi karena nanopartikel silika sudah dapat terbentuk dengan ukuran 5-20 nanometer. Nanopartikel ini juga sudah dimodifikasi menjadi fluoresens. Optimasi bertujuan untuk melihat intensitas cahaya yang dipendarkan nanopartikel.
"Kami istilahnya masih tahap sensitivitas. Ini harus sensitif dulu, materialnya harus stabil karena kami tidak mau nanti materialnya dikasih darah terus hancur,"ucapnya.
Dalam menjalankan penelitiannya, Ais merasa tertantang soal pendanaan, sehingga kolaborasi dengan pihak-pihak terkait penelitian begitu dibutuhkan. Ia juga mendapat penghargaan L'Oreal - UNESCO For Women in Science National Fellowship Awards 2017, sehingga ada bantuan dana untuk penelitiannya. Tak hanya itu, profesor di tempat ia belajar, University of South Australia juga bersemangat berkolaborasi demi mewujudkan mimpi Ais.
"Tantangan besarnya, justru nanti kalau sudah ketemu biomolekul yang diinginkan, bagaimana kami mengaplikasikan di nanopartikel. Lalu karakterisasi, karena alat uji di Indonesia itu sangat kurang makanya kami ingin aktif kolaborasi di luar negeri," ujarnya.
(rah)